Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

Pengaruh Aerasi Terhadap Pretreatment Eceng Gondok Oleh Phanerochaete Chrysosporium Septria, Rully; Purwono, Suryo; Syamsiah, Siti; Sari, Eka
Jurnal Sains Dan Teknologi Lingkungan Vol 7, No 2 (2015): SAINS & TEKNOLOGI LINGKUNGAN
Publisher : Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Eceng gondok (Eichornia Crassipe) memiliki potensi dapat dikonversi menjadi bioetanol. Pretreatment biologi denganPhanerochaete Chrysosporium memerlukan waktu lama karena kurangnya pasokan oksigen untuk pertumbuhanP.Chrysosporium. Upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen dapat dibantu dengan aerasi. Variasi kecepatan aerasiyang digunakan 0 L/m2.men sampai 30,10 L/m2.men. Sampel diambil setiap 4 hari selama 24 hari. Kecepatan aerasi2,15 L/m2.men sampai dengan hari ke 24 menghasilkan degradasi lignin sebesar 0,3076 gram. Sedangkan kecepatanaerasi 15,05 L/m2.men; 17,20 L/m2.men; dan 30,10 L/m2.men menunjukkan degradasi lignin yang lebih tinggi yaitu0,3374 gram; 0,4151 gram; dan 0,3944 gram. Aerasi 2,15 L/m2.men merupakan kecepatan optimum. Hal tersebutdapat dilihat dari hasil lignin yang paling rendah.Kata Kunci : Aerasi, pretreatment, eceng gondok, lignoselulosa
Delignifikasi Lignin dalam Enceng Gondok Secara Kimiawi Sari, Eka; Bahtiar, Adis; Ronggo, Ki Bagus
TEKNIKA Vol 12, No 1 (2016): Juni
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Krisis energi mendorong para peneliti untuk mencari alternatif energi seperti bioetanol. Perkembangan produksi bioetanol generasi kedua berbahan baku lignoselulosa banyak dikaji. Salah satu bahan lignoselulosa yang di padang berpotensi sebagai bahan baku pembuatan bioetanol adalah enceng gondok. Enceng gondok merupakan gulma air yang memiliki pertumbuhan sangat cepat dengan doubling time hanya memerlukan waktu 4 hari, sehingga ketersediaannya dialam sangat melimpah. Tanaman ini mengandung selulosa dan hemiselulosa yang tinggi. Selulosa dan hemiselulisa dalam enceng gondok mencapai 60% dari total berat kering enceng gondok dapat dikonversi menjadi bioetanol. Permasalahan umum dalam perkembangan produksi bioetanol generasi kedua adalah lignin. Lignin diketahui menghalangi mengganggu proses hidrolisis untuk mengkonversi selulosa dan hemiselulosa menjadi glukosa dan xylosa. untuk menghasilkan glukosa yang tinggi maka lignin perlu dihilangkan dengan proses delignifikasi. Enceng gondok memiliki lignin yang rendah hanya sekitar 7 % tetapi lignin ini masih perlu dihilangkan.Tujuan dari penelitian ini adalah penghilangan lignin dalam rangka meningkatkan hasil hidrolisis. Proses delignifikasi ini menggunakan senyawa hidroksida seperti kalium hidroksida dan Natrium Hidroksida, selain itu dilakukan pula variasi waktu pemanasan. Verifikasi data dilakukan dengan hasil hidrolisis menggunakan asam sulfat encer untuk menghasilkan glukosa yang tinggi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa delignifikasi menggunakan natrium hidroksida dengan konsentrasi 0,5 N dan proses delignifikasi 75 menit, enceng gondok mengalami penurunan lignin sebesar 57,14%. Hasil hidrolisis dengan asam sulfat encer selama 60 menit menghasilkan glukosa sebanyak 0,047 gr/L. Hasil fermentasi selama 3 hari menghasilkan bioetanol sebanyak 8,27%. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pada pengembangan produksi bioetanol generasi kedua dengan bahan baku enceng gondok.
Microscopic Characterization of Fusarium sp. Associated with Yellow Disease of Pepper (Piper nigrum L.) in South Bangka Regency Lestari, Ayu; Henri, Henri; Sari, Eka; Wahyuni, Tri
PLANTA TROPIKA: Jurnal Agrosains (Journal of Agro Science) Vol 9, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/pt.v9i1.7753

Abstract

Pepper production has decreased recently, especially due to yellow diseases of Fusarium sp. Thus, this research aimed to isolate and characterize Fusarium sp. from soil and root of healthy and diseased pepper plants. The sampling technique used was purposive sampling. Soil and root pepper samples were taken from lands in Payung and Ranggung Village, Payung District, South Bangka Regency. There were 3 varieties of pepper plant used, including Petaling 1, Nyelungkup, and Merapin Daun Kecil. The characterization of Fusarium sp. isolate included macroscopic and microscopic observation. Macroscopic observation included colony color, colony base color, and growth rate/colony diameter size (cm), while microscopic observation included hyphae structure, and the shape and size of microconidia, macroconidia, chlamydospore, and conidiophore. The research found 66 isolates of Fusarium genus based on the colony color. Most of the isolates were white or purple and red. Colony color of Fusarium sp. showed white color, which then turned to orange color. All isolates showed septate hyphae. Isolates with macroconidia 3-4 septate and micronidia 0-1 septate showed the character of Fusarium oxysporum, while isolates with macroconidia 3-5 septate and microconidia 0-2 septate showed the character of Fusarium solani.
Pembuatan Kumbung sebagai Persiapan Budidaya Jamur dalam Upaya Perwujudan Ikon Jamur Tiram Putih di Desa Pagarawan, Bangka Sari, Eka; Ropalia, Ropalia
Jurnal Pengabdian Masyarakat MIPA dan Pendidikan MIPA Vol 4, No 1 (2020): Vol 4, no 1 (2020)
Publisher : Yogyakarta State University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (509.213 KB) | DOI: 10.21831/jpmmp.v4i1.34076

Abstract

AbstrakPagarawan merupakan salah satu desa di Kabupaten Bangka dengan ikon jamur tiram putih, sehingga berpotensi mengembangkan usaha budidaya jamur tiram skala rumah tangga. Disamping itu, desa ini selalu membeli baglog jamur dari luar dan belum berani memproduksi sendiri dikarenakan belum mempunyai pengetahuan dan keterampilan mengenai budidaya jamur tiram skala rumah tangga. Kegiatan ini dilaksanakan di salah satu rumah warga Pagarawan sebagai mitra produksi yang bersedia menyediakan tempat budidaya. Tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan budidaya adalah persiapan sarana, prasarana dan kegiatan sosialisasi. Persiapan yang telah dilakukan adalah pembuatan kumbung pembibibitan, kumbung inkubasi, kumbung budidaya, dan kumbung pengomposan. Kegiatan sosialisasi budidaya jamur juga sudah dilaksanakan termasuk sosialisasi penggunaan sarana prasarana kepada masyarakat Pagarawan. Hal tersebut menunjukkan antusiasme dari masyarakat desa sehingga siap melangkah ke tahapan berikutnya, yaitu pelatihan budidaya jamur tiram putih skala rumah tangga agar dapat melaksanakan kegiatan budidaya jamur tiram secara mandiri di Pagarawan Kata kunci: Bangka, Jamur Tiram Putih, Pagarawan Making Kumbung as a Preparation for Mushroom Cultivation in an Effort to Realize the White Oyster Mushroom Icon in Pagarawan Village, BangkaAbstractPagarawan is one of the villages in Bangka Regency with an white oyster mushroom icon, thus increasing the dvevelopment of the household scale oyster mushroom busines. In besides, this village always buys baglog mushrooms from outside the village and has not succeeded in producing it by themselves because they have not the knowledge and skills about household-scale oyster mushrooms. This activity was carried out in one of the houses of the citizens of Pagarawan as a production partner that provided a cultivation place. The initial stage carried out before conducting cultivation is the preparation of facilities, infrastructure and socialization activities. Preparations that have been made are making kumbung of nursery, incubation, cultivation and composting. Mushroom cultivation socialization activities have also been carries out including the socialization of the use of infrastucture for the poeple of Pagarawan. This Shows the enthusiasm of the village community so that they are ready to go to the next stage, namely training on the cultivation of white oyster mushrooms at a household scale can be carried out oyster mushroom cultivation activities independently in Pagarawan Key words: Bangka, white oyster mushroom, Pagarawan
Microscopic Characterization of Fusarium sp. Associated with Yellow Disease of Pepper (Piper nigrum L.) in South Bangka Regency Lestari, Ayu; Henri, Henri; Sari, Eka; Wahyuni, Tri
PLANTA TROPIKA: Jurnal Agrosains (Journal of Agro Science) Vol 9, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/pt.v9i1.7753

Abstract

Pepper production has decreased recently, especially due to yellow diseases of Fusarium sp. Thus, this research aimed to isolate and characterize Fusarium sp. from soil and root of healthy and diseased pepper plants. The sampling technique used was purposive sampling. Soil and root pepper samples were taken from lands in Payung and Ranggung Village, Payung District, South Bangka Regency. There were 3 varieties of pepper plant used, including Petaling 1, Nyelungkup, and Merapin Daun Kecil. The characterization of Fusarium sp. isolate included macroscopic and microscopic observation. Macroscopic observation included colony color, colony base color, and growth rate/colony diameter size (cm), while microscopic observation included hyphae structure, and the shape and size of microconidia, macroconidia, chlamydospore, and conidiophore. The research found 66 isolates of Fusarium genus based on the colony color. Most of the isolates were white or purple and red. Colony color of Fusarium sp. showed white color, which then turned to orange color. All isolates showed septate hyphae. Isolates with macroconidia 3-4 septate and micronidia 0-1 septate showed the character of Fusarium oxysporum, while isolates with macroconidia 3-5 septate and microconidia 0-2 septate showed the character of Fusarium solani.
Delignifikasi Lignin dalam Enceng Gondok Secara Kimiawi Eka Sari; Adis Bahtiar
Jurnal Teknika Vol 12, No 1 (2016): Edisi Juni 2016
Publisher : Faculty of Engineering, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36055/tjst.v12i1.6622

Abstract

Krisis energi mendorong para peneliti untuk mencari alternatif energi seperti bioetanol. Perkembangan produksi bioetanol generasi kedua berbahan baku lignoselulosa banyak dikaji. Salah satu bahan lignoselulosa yang di padang berpotensi sebagai bahan baku pembuatan bioetanol adalah enceng gondok. Enceng gondok merupakan gulma air yang memiliki pertumbuhan sangat cepat dengan doubling time hanya memerlukan waktu 4 hari, sehingga ketersediaannya dialam sangat melimpah. Tanaman ini mengandung selulosa dan hemiselulosa yang tinggi. Selulosa dan hemiselulisa dalam enceng gondok mencapai 60% dari total berat kering enceng gondok dapat dikonversi menjadi bioetanol. Permasalahan umum dalam perkembangan produksi bioetanol generasi kedua adalah lignin. Lignin diketahui menghalangi mengganggu proses hidrolisis untuk mengkonversi selulosa dan hemiselulosa menjadi glukosa dan xylosa. untuk menghasilkan glukosa yang tinggi maka lignin perlu dihilangkan dengan proses delignifikasi. Enceng gondok memiliki lignin yang rendah hanya sekitar 7 % tetapi lignin ini masih perlu dihilangkan. Tujuan dari penelitian ini adalah penghilangan lignin dalam rangka meningkatkan hasil hidrolisis. Proses delignifikasi ini menggunakan senyawa hidroksida seperti kalium hidroksida dan Natrium Hidroksida, selain itu dilakukan pula variasi waktu pemanasan. Verifikasi data dilakukan dengan hasil hidrolisis menggunakan asam sulfat encer untuk menghasilkan glukosa yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa delignifikasi menggunakan natrium hidroksida dengan konsentrasi 0,5 N dan proses delignifikasi 75 menit, enceng gondok mengalami penurunan lignin sebesar 57,14%. Hasil hidrolisis dengan asam sulfat encer selama 60 menit menghasilkan glukosa sebanyak 0,047 gr/L. Hasil fermentasi selama 3 hari menghasilkan bioetanol sebanyak 8,27%. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pada pengembangan produksi bioetanol generasi kedua dengan bahan baku enceng gondok.
Pengaruh Aerasi Terhadap Pretreatment Eceng Gondok Oleh Phanerochaete Chrysosporium Rully Septria; Suryo Purwono; Siti Syamsiah; Eka Sari
Jurnal Sains & Teknologi Lingkungan Vol. 7 No. 2 (2015): SAINS & TEKNOLOGI LINGKUNGAN
Publisher : Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/jstl.vol7.iss2.art2

Abstract

Eceng gondok (Eichornia Crassipe) memiliki potensi dapat dikonversi menjadi bioetanol. Pretreatment biologi dengan Phanerochaete Chrysosporium memerlukan waktu lama karena kurangnya pasokan oksigen untuk pertumbuhan P.Chrysosporium. Upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen dapat dibantu dengan aerasi. Variasi kecepatan aerasi yang digunakan 0 L/m2.men sampai 30,10 L/m2.men. Sampel diambil setiap 4 hari selama 24 hari. Kecepatan aerasi 2,15 L/m2.men sampai dengan hari ke 24 menghasilkan degradasi lignin sebesar 0,3076 gram. Sedangkan kecepatan aerasi 15,05 L/m2.men; 17,20 L/m2.men; dan 30,10 L/m2.men menunjukkan degradasi lignin yang lebih tinggi yaitu 0,3374 gram; 0,4151 gram; dan 0,3944 gram. Aerasi 2,15 L/m2.men merupakan kecepatan optimum. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil lignin yang paling rendah.
Program Peningkatan Produksi Dan Kualitas Packaging Madu Peternak Lebah Tradisional Banten Dalam Meningkatkan Penjualan Enggar Utari; Ekasari Ekasari; Robby Oktadinata; Mahrawi Mahrawi
Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat (JPKM) TABIKPUN Vol. 2 No. 1 (2021)
Publisher : Faculty of Mathematics and Natural Sciences - Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23960/jpkmt.v2i1.21

Abstract

Daerah Lebak, Pandeglang dan Rangkasbitung di Provinsi Banten merupakan penghasil madu hutan dari hutan di sekitarnya. Selain madu hutan, daerah tersebut juga memiliki madu hasil peternakan. Kebanyakan produktifitas penjualan madu tersebut masih rendah, seperti yang teridentifikasi pada peternakan lebah Nabila Natural. Kegiatan pengabdian ini merupakan satu upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi produsen madu tersebut melalui sentuhan teknologi dan dukungan riset akademisi untuk membantu peternakan ini menjadi usaha produktif dan andal sebagai produk unggulan. Langkah-langkah yang ditempuh adalah 1. Penawaran ide kemasan produk dan mendapatkan prototipe produk Madu Alami modern keluaran Nabila, 2. Pendaftaran lisensi agar bisa dijual bebas dengan mempersiapkan rumah produksi, 3. Membuka sistem agen pemasaran atau toko online yang baik. Agensi tersebut akan dibuka untuk penawaran pemasaran lokal di Kota Cilegon dan Serang. Dengan langkah-langkah ini produsen madu dapat peningkatan kualitas dan pemasaran produk-produk peternakan lebah ini. Produktifitas peternakan lebah ini juga akan terus dikembangkan pada masa yang akan datang dengan produk turunannya melalui skema kerjasama dengan peneliti lebah.
PENGARUH PENAMBAHAN GLISEROL DAN LILIN LEBAH PADA SUSUT BERAT BUAH SAWO KHAS BANTEN Nufus Kanani; Ekasari Ekasari; Anas Subkhan; Wardalia Wardalia; Ranaldy Riky
JURNAL KONVERSI Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (710.457 KB) | DOI: 10.24853/konversi.7.2.8

Abstract

Packaging is a protection of food product to maintain the quality and durability of food. The aim of this study was to produce edible film as sapodilla fruit preservation, to get the optimum composition of glycerol and beeswax mixture and to get the optimum characteristics of edible film based on cassava peel starch. The methodology of this study was use 3 grams of cassava peel starch with glyserol consentration range 0,75 to 1.25% v/v and beeswax consentration range 1 to 3 w/v.The parameters tested were fruit weight loss, thickness, tensile strength, elongation percentage and solubility. The results showed that the lowest weight loss value were obtained on the addition of 0.75% glycerol and 3% beeswax which were 3.3% of weight loss in 7 days.
STUDI BIODEGRADASI POLI HIDROKSI BUTIRAT DALAM MEDIA CAIR (Biodegradation of Poly Hydroxy Butyrate in Liquid Medium) Eka Sari; Siti Syamsiah; Sarto Sarto
Jurnal Manusia dan Lingkungan Vol 14, No 3 (2007): November
Publisher : Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jml.18671

Abstract

ABSTRAK Poli hidroksi butirat (PHS) termasuk dalam golongan bioplastik. Plastik jenis ini diharapkan dapat menjadi plastik altematif yang ramah lingkungan sebagai pengganti plastik sintetis yang bersifat sangat suI it terdegradasi. Penelitian ini bertujuan menguji potensi biodegradabilitas PHS komersial dalam media cair dengan menggunakan lumpur aktif dan unit pengolahan limbah pabrik plastik sintetik. Identifikasi proses degradasi dilakukan dengan cara mengamati perubahan karakteristik PHS yang meliputi perubahan visual, perubahan morfologi permukaan, penurunan berat, perubahan kristalinitas, dan perubahan berat molekul selama 15 pekan inkubasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan PHS se1ama proses degradasi dapat dilihat secara visual. Disamping itu, morfologi permukaan mengalami perubahan signifikan. Adapun penurunan berat, kristalinitas, dan berat molekul berturut-turut mencapai 22,91 %,57.44 %, dan 29,52 %. ABSTRACT Poly hidroxy butyrate (PHB) is a member of bioplastic group. This type of plastic is expected to be alternative plastic which is environmently friendly to replace synthetic plastic that is known to be very difficult to degrade. This research aims to test the biodegradability of commercial PHB in liquid mediums used activated sludge from waste water treatment plant in plastic synthetic factory. Identification of biodegradation process  was done by monitoring the changes of PHB characteristics including visual change, surface morphology change, reduction of weight, reduction of crystallinity, and reduction of molecular weight during 15 weeks incubation. The result shows that  the damage of PHB sample during biodegradation could be seen visually and liquid medium show the existence of change which can be seen visually and the surface morphology of PHB changed significantly. Weight reduction, crystallinity  reduction, and molecular  weight reduction  revealed of 22.91%, 57.44%, and 29.52% respectively.