SEPTINA ALRIANINGRUM
Unknown Affiliation

Published : 36 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 36 Documents
Search

KEBIJAKAN BAMBANG D.H MENCIPTAKAN RUANG TERBUKA HIJAU BEKAS LAHAN SPBU TAHUN 2002-2010 DIANA FITRIANI, URSULA; ALRIANINGRUM, SEPTINA
Avatara Vol 9, No 1 (2020)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah lahan yang pemanfaatannya untuk kepentingan penghijauan. Kurangnya RTH berdampak pada kualitas lingkungan hidup Kota Surabaya. Masalah lingkungan yang dihadapi yaitu banjir dan meningkatnya suhu udara. Permasalahan tersebut membuat Pemerintah Surabaya Periode Bambang D.H melakukan pengembangan RTH dengan merefungsi 13 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) menjadi taman kota. Pengembalian fungsi lahan SPBU jalur hijau menjadi RTH bukan hal mudah. Sebab SPBU jalur hijau memiliki izin sehingga membutuhkan proses panjang dalam mengembalikan fungsi lahan SPBU menjadi RTH taman kotaPenelitian ini mengambil rumusan masalah yaitu tentang (1) Bagaimana Kebijakan Bambang D.H merubah lahan SPBU jalur hijau menjadi RTH taman kota tahun 2002-2010, dan (2) Bagaimana dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan adanya RTH taman kota bekas lahan SPBU. Penulis menggunakan metode penelitian sejarah yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber penulisan menggunakan sumber tertulis berupa koran dan dokumen sezaman dan sumber lisan wawancara petugas taman kota.Kata Kunci: Bambang D.H, Kebijakan RTH Bekas SPBU, Surabaya.
WAYANG SULUH MADIUN TAHUN 1947-1965 SISKAWATI, APRILIA; ALRIANINGRUM, SEPTINA
Avatara Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pada zaman revolusi alat penyebar informasi di Indonesia masih minim. Wayang kemudian menjadi salah satu media penyebaran informasi untuk masyarakat Indonesia karena masih ada keterbatasan masyarakat dalam membaca, memiliki, dan berlangganan surat kabar. Masalah tersebut mengakibatkan masyarakat menjadi hidup sengsara dan pendidikan tidak mampu menjangkau masyarakat kecil, sehingga dapat menyulitkan pemerintah dalam menyebar luaskan informasi mengenai program pemerintah. Wayang suluh oleh Pemerintah melalui Departement Penerangan dianggap mampu memberikan informasi untuk menambah wawasan serta pengetahuan kepada masyarakat Indonesia dalam upaya membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan.Permasalahan penelitian ini yaitu, (1) Bagaimana latar belakang tumbuhnya wayang suluh? (2) Bagaimana ciri-ciri dan fungsi wayang suluh? (3) Bagaimana perkembangan wayang suluh di Madiun pada tahun 1947-1965?. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah terdiri dari, (1) Heuristik, mencari sumber sejarah sesuai topik yang akan diteliti (2) Kritik, menganalisis sumber untuk mendapatkan fakta sejarah (3) Intepretasi, menganalisis sumber yang sudah dikritik kemudian diintepretasi sesuai dengan tema penelitian (4) Historiografi, penulisan sumber yang sudah terbentuk rekonstruksi peristiwa sejarah.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wayang suluh tumbuh ketika Pemerintah Indonesia berusaha menanamkan kesadaran masyarakat untuk berbangsa dan bertanah air. Usaha tersebut dilakukan akibat serangan dari Belanda terkait peristiwa Agresi Militer Belanda I dan II yang ingin menguasai kembali Indonesia. Selain peristiwa Agresi Militer Belanda I dan II juga ada peristiwa Madiun tahun 1948 yang mengakibatkan kehidupkan masyarakat Indonesia sengsara. Berdasarkan masalah tersebut wayang suluh kemudian dirancang dan diperkenalkan kepada masyarakat Madiun oleh bapak Sukemi sebagai karyawan Departemen Penerangan Madiun. Wayang suluh pertama kali dipertunjukkan tanggal 10 Maret 1947 di Gedung Balai Rakyat Madiun Jawa Timur.Ciri dan fungsi dari wayang suluh Madiun yaitu tokoh wayang suluh Madiun lebih digambarkan seperti wajah asli tokoh perjuangan di Indonesia dan tokoh yang hidup dalam masyarakat. Lakon yang dibawakan dalam wayang suluh Madiun bercerita seputar peristiwa pada masa revolusi dan program pemerintah. Wayang suluh berfungsi sebagai (1) corong pemerintah dalam menyampaikan informasi; (2) menambah wawasan; (3) meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia.Dalam perkembangannya wayang suluh Madiun tahun 1947-1965 dibagi menjadi 2 periodisasi, yaitu tahun 1947-1949 dan tahun 1950-1965. Periode tahun 1947-1949 tokoh wayang suluh Madiun digambarkan seperti wajah asli tokoh-tokoh perjuangan Indonesia dan tokoh-tokoh Belanda yang berperan dalam penjajahan. Lakon wayang suluh lebih menceritakan peristiwa pada masa revolusi. Waktu dan durasi pentas dengan durasi 3-4 jam atau selama 6 jam yang dilaksanakan sore atau malam hari. Sorot lampu (blencong) masih menggunakan lampu minyak.Periode tahun 1950-1965 tokoh wayang suluh Madiun lebih menggambarkan tokoh-tokoh atau pelaku yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan lakon menceritakan program pemerintah, mengangkat permasalahan pembangunan di Indonesia. Waktu pentas dilaksanakan selama 2-3 jam dimulai pada pukul 20.00 WIB sampai pukul 23.00 WIB. Sedangkan sorot lampu (blencong) sudah menggunakan blencong berupa lampu petromax.Kata Kunci: wayang suluh, ciri dan fungsi, perkembangannya.
BENTUK KERUKUNAN ANTARA UMAT BERAGAMA DI VIHARA AVALOKITESVARA CANDIH POLAGAN GALIS PAMEKASAN MADURA TAHUN 1959-1962 RAHMAN, ABDUR; ALRIANINGRUM, SEPTINA
Avatara Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Vihara Avalokitesvara yang terdapat di dusun Candih desa Polagan Galis Pamekasan, merupakan tempat peribadatan Umat Budha dalam wajah penampilan cita-cita Pancasilais. Di komleks Vihara terdapat tempat ibadah Mushallah dan pura. Kerukunan tersebut terpancar ke masyarakat Candih. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Vihara Avalokitesvara di sebabkan oleh kerukunan umat agama dan membawa misi pancasilaisRumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana latar belakang berdirinya Vihara Avalokitesvara Pamekasamn Madura?, (2) Bagaiman bentuk kerukunan antara umat agama Budha dan agama Islam di Vihara Avalokitesvara?, (3) Apa wujud kerjasama Vihara Avalokitesvara di masyarakat Candih Polgan Galis Pamekasan Madura. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalam metode penilitian sejarah meliputi Heuristik, Kritik, Interpretasi dan histeriografi.Hasil penelitian menunjukan bahwa latar belakang berdirinya Vihara Avalokitesvara dengan ditemukannya tiga buah patung di dusun Candih Polagan Galis Pamekasan. Pemberian nama Vihara Avalokitesvara diambil dari nama salah satu Bodhisattava dalam agama Budha. Patung tersebut akan dikirim ke Proppo tepatnya desa Jamburingin. Namun patung-patung tidak sampai ke desa Jamburingin, sehingga di temukan terbenam di dusun Candih. Bentuk kerukunan umat beragama yang terjalin di masyarakat Candih tercermin dari adanya tempat ibadah umat Budha yaitu Vihara Avalokitesvara yang membawa misi Pancasilais. Dalam komplek bangunan Vihara terdapat tempat ibadah ama lain seperti Mushallah dan Pura. Kerukunan masyarakat Candih terlihat dengan rumah-rumah mereka yang dibangun berselang-seling. Gotong royong selalu dikedepankan baik dalam lingkungan masyarakat maupun masyarakat dengan pihak Vihara Avalokitesvara. eujud kerjasama yang terjalin antara Vihara dengan Masyarakat adalah a) akses jalan sepanjang 1700m dari jalan raya, b) keterlibatan masyarakat Candih dalam setiap perayaan di Vihara AvalokitesvaraKata Kunci : Bentuk, Kerukunan umat beragama, Kerjasama.
PENATARAN P-4 (PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA) BAGI MASYARAKAT DI KELURAHAN SAWUNGGALING KOTAMADYA SURABAYA 1981-1996 RATNASARI, DEWI; ALRIANINGRUM, SEPTINA
Avatara Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

P-4 merupakan sebuah pedoman tentang penghayatan pengamalan Pancasila yang dibuat pada masa Orde Baru. P-4 dimasyarakatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia secara bertahap. Pemasyarakatan P-4 tersebut dilaksanakan melalui penataran yang disebut dengan Penataran P-4. P-4 ditatarkan untuk mengatasi berbagai bentuk permasalahan sosial yang terjadi dalam sebuah lingkungan masyarakat yang hidup dalam kota-kota besar, salah satunya adalah Kotamadya Surabaya. Dalam Penataran P-4 yang dilaksanakan di Seluruh Indonesia, Surabaya merupakan kotamadya dengan nilai tertinggi di Jawa Timur sebagai pelaksana Pemasyarakatan P-4 pada tahun 1989. Penataran P-4 tersebut dilaksanakan di setiap kelurahan. Kelurahan Sawunggaling merupakan salah satu Pelaksana P-4 Teladan di Kotamadya Surabaya.Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah tentang (1) Bagaimana proses Penataran P-4 bagi masyarakat di Kelurahan Sawunggaling serta (2) Mengapa Kelurahan Sawunggaling menjadi Kelurahan Pelaksana P-4 Teladan. Metode dalam penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah. Heuristik (pengumpulan sumber) didapatkan peneliti di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya dan Badan Arsip Daerah Jawa Timur. Sumber berupa hasil wawancara dilakukan kepada warga masyarakat Kelurahan Sawunggaling yang ditatar pada masa tersebut. Kritik sumber dilakukan peneliti agar sumber yang didapatkan oleh peneliti dapat dijadikan sebagai sumber interpretasi data. Interpretasi data merupakan analisis serta sintesis sumber agar penulisan sejarah dapat dilaksanakan dengan baik. Historiografi merupakan metode akhir dalam penelitian, yakni dengan menuliskan hasil dari penelitian dalam bentuk tulisan.Hasil penelitian ini adalah tentang proses serta alasan mengapa Kelurahan Sawunggaling terpilih sebagai Kelurahan Pelaksana P-4 Teladan. Proses pelaksanaan Penataran P-4 di Kelurahan Sawunggaling tuntas dilaksanakan selama 15 tahun (1981-1996). Pelaksanaan Penataran P-4 di kelurahan tersebut digunakan pola pendukung 17 jam serta 25 jam. Pada tahun 1996 Penataran P-4 di Kelurahan Sawunggaling tuntas dilaksanakan bagi seluruh masyarakat usia dewasa. Pelaksanaan Penataran P-4 secara konsisten dan bertahap aktif diikuti oleh masyarakat, sehingga pada tahun 1989 Kelurahan Sawunggaling terpilih sebagai salah satu Pelaksana P-4 Teladan.Kata Kunci: Penataran P-4, Kelurahan Sawunggaling, Masyarakat
PERAN MAYJEN SUNGKONO DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI JAWA TIMUR TAHUN 1945 – 1950 LUKLUI, IRKHUL; ALRIANINGRUM, SEPTINA
Avatara Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sungkono lahir di kota Purbalingga pada tanggal 11 Januari 1911. Pada peristiwa 10 November 1945 Sungkono merupakan salah satu tokoh penggerak semangat juang rakyat Surabaya. Sungkono diangkat sebagai kepala BKR Kota Surabaya ketika peristiwa 10 November 1945. Penelitian ini akan membahas mengenai (1) Bagaimana latar belakang Mayjen Sungkono sebelum tahun 1945 dan karier di dunia militer; (2) Bagaimana peran Mayjen Sungkono di Jawa Timur tahun 1945 ? 1950. Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri atas empat tahap yaitu tahap Heuristik, Kritik, Interpretasi dan Historiografi. Sumber dalam penelitian ini didapat melalui wawancara dengan anak dan kerabat dar Sungkono juga wawancara dengan para veteran pejuang 45, didapat juga melalui arsip perihal persemian Sungkono sebagai kepala divisi Brawijaya, Arsip keterlibatan Sungkono dalam peristiwa 10 November 1945 sampai tahun 1950. Tahap kedua yakni kritik sumber yaitu kritik intern menemukan data yang menunjukan peran Sungkono periode tahun 1945 ? 1950. Tahap Ketiga yakni interpretasi data. Melalui berbagai literature serta wawancara memperoleh fakta tentang peran Sungkono dalam peristiwa 10 November 1945 dan selama menjadi Kepala Divisi Brawijaya . Fakta-fakta tersebut menjadi pondasi peneliti dalam menganalisis fakta sesuai dengan tema penelitian disertai dukungan sumber sekunder. Tahap keempat yakni historiografi untuk menuliskan hasil penelitian karya sejarah secara kronologis sesuai dengan tema penelitian. Hasil penelitian menjelaskan Sungkono yang terlahir dari pasangan Ki Tawireja dan Ibu Rinten. Sungkono mulai dikenal dikalangan rakyat Surabaya ketika terjadi pemberontakan tujuh kapal pada tahun 1930. Pada jaman Jepang Sungkono telah bergabung dalam anggota PETA. Tanggal 4 September 1945 Sungkono terpilih sebagai komandan BKR Kota Surabaya. Sebagai komandan BKR Kota Surabaya Sungkono Sebagai bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan seluruh kota. Dengan cara kota harus dipertahankan dari usaha pendudukan oleh musuh. Sebagai komandan BKR Kota Surabaya Sungkono menggerakan pasukan dengan dibantu Polisi Istimewa dibawah pimpinan Moh. Jasin, Pemuda Republik Indonesia (PRI) beserta rakyat dan pemuda lainnya yang belum jelas induk pasukannya untuk mengepung markas Gubeng. Sungkono juga menjabat sebagai gubernur militer pada peristiwa pemberontakan PKI Madiun. Sumbangsih yang diberikan Sungkono bukan hanya pada bidang militer juga bidang sosial, politik dan pendidikan. Pada tahun 1950 Sungkono berpindah ke Jakarta menjadi ?Penasehat Umum? Menteri Pertahanan di Jakarta.
DARI BOG TEMPE MENJADI KAMPUNG LONTONG TAHUN 1974-2012 KARTIKA NURMALA SARI, DWI; ALRIANINGRUM, SEPTINA
Avatara Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ada sebuah kampung di jalan Banyu Urip Lor Surabaya, yang mayoritas warganyanya berprofesi sebagai penjualLontong, sehingga terkenal dengan sebutan Kampung Lontong. Kampung Lontong merupakan kampung UKM (UsahaKecil Menengah) terbesar di Surabaya. Ada 76 keluarga yang tercatat sebagai pengusaha lontong di kampung tersebut,dengan produksi lontong yang mencapai lebih dari 2 ton beras perharinya. Pada sekitar tahun 1960, ternyata KampungLontong merupakan sentra penghasil tempe yang besar di Surabaya dan dikenal dengan sebutan Bog Tempe, yang berartijembatan tempe. Proses terbentuknya Kampung Lontong telah memberikan banyak pengaruh bagi masyarakat, baikmasyarakat Banyu Urip Lor maupun masyarakat Surabaya. Pengaruh tersebut berupa peningkatan ekonomi dankesejahteraan masyarakat.
PROGRAM TAMYANGSANG DALAM PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN PADI DI KABUPATEN LAMONGAN PADA MASA PEMERINTAHAN BUPATI R. MUHAMMAD FARIED TAHUN 1996-1999 KURNIAWATI, EKA; ALRIANINGRUM, SEPTINA
Avatara Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kabupaten Lamongan merupakan salah satu daerah penghasil beras terbesar di Jawa Timur yang menyumbang 8,18% produksi beras di Jawa Timur pada masa Pelita V. Dalam kurun tahun 1989 hingga 1999 Kabupaten Lamongan menempati posisi ketiga dan kedua terbesar di Provinsi Jawa Timur dalam sektor pertanian padi. Potensi pertanian padi yang dimiliki oleh Kabupaten Lamongan tersebut tidak luput dari pengaruh Pemimpin daerah yang mengeluarkan kebijakan maupun program untuk mengembangkan sektor unggulan daerahnya. Bupati R. Muhammad Faried merupakan salah satu Bupati yang paling berpengaruh di Kabupaten Lamongan. Banyak ide dan pemikiran baru yang dikeluarkan untuk mengembangkan sektor pertanian khususnya pertanian padi pada masa pemerintahannya. Salah satunya ada program TAMYANGSANG. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut 1. Bagaimana latar belakang kebijakan Bupati R.Muhammad Faried dalam sektor pertanian padi tahun 1989-1999? 2. Bagaimana implementasi dan pencapaian dari Program TAMYANGSANG masa Bupati R.Muhammad Faried dalam sektor pertanian padi tahun 1996-1999?.Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang meliputi Heuristik, Kritik, Interpretasi dan Historiografi. Hasil dari penelitian Pengaruh program TAMYANGSANG dalam produksi padi di Kabupaten Lamongan adalah produksi padi dari tahun 1996 hingga 1999 mengalami peningkatan sebanyak 8.98 %. Sektor pendukung dalam program TAMYANGSANG juga mengalami peningkatan, dimana sektor perikanan darat mengalami peningkatan hingga 9 kali lipat di tahun 1998 dari produksi tahun 1997. Produksi pisang mengalami peningkatan mencapai 42.68%, namun produksi ayam buras justru menurun sebanyak 7,27% karena kurang optimalnya program Intensifikasi Ayam Buras (INTAB) yang dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Lamongan dalam mengoptimalkan program TAMYANGSANG.Kata Kunci : Pertanian, TAMYANGSANG, Kabupaten Lamongan, Bupati R.Muhammad Faried.
PELESTARIAN SEJARAH DAN CAGAR BUDAYA KLASIK DI NGANJUK MASA BUPATI SOETRISNO 1993-2003 BAYU ERANDA, PANJI; ALRIANINGRUM, SEPTINA
Avatara Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Cagar budaya klasik merupakan aset terpenting yang dimiliki oleh suatu bangsa. Cagar budaya kuno juga dapat melambangkan identitas suatu daerah. Di Kabupaten Nganjuk, cagar budaya klasik merupakan suatu benda atau bangunan yang memiliki fungsi tersendiri terhadap pemerintah, akademisi, dan masyarakat.. Pemerintah Kabupaten Nganjuk menggunakan benda dan bangunan cagar budaya sebagai objek untuk mengenalkan sejarah kota. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengenalkan sejarah dan cagar budaya kuno dijadikan sebagai obyek penelitian agar eksistensi cagar budaya klasik di Kabupaten Nganjuk lebih bertambah. Dalam hal ini penelitian dilakukan di Kabupaten Nganjuk dengan rentang waktu 1993-2003.Penelitian ini membahas mengenai (1) Bagaimana upaya pemerintah dalam melestarikan sejarah dan cagar budaya klasik Kabupaten Nganjuk tahun 1993-2003; (2) Bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengenalkan cagar budaya klasik di Kabupaten Nganjuk. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahap. Tahap pertama yaitu pengumpulan sumber primer dan sekunder. Sumber penelitian ini didapatkan dari Badan Perpustakaan dan Arsip Nganjuk, serta wawancara. Tahap kedua yaitu kritik sumber (melakukan pengujian dan verivikasi sumber yang didapat). Tahap ketiga adalah interpretasi yaitu menafsirkan sekaligus verifikasi data yang diperoleh terhadap kebijakan dan upaya pemerintah. Tahap keempat adalah historiografi yaitu penulisan hasil penelitian sejarah secara kronologis mengenai upaya yang ilakukan pemerintah dalam mengenalkan sejarah dan cagar budaya klasik Nganjuk.Hasil penelitian bahwa pada 1993 terdapat beberapa kebijakan saah satunya untuk penentuan hari jadi Nganjuk yang didasarkan atas suatu cagar budaya klasik untuk dikenalkan ke masyarakat. Disusul oleh upaya-upaya pemerintah dalam melestarikan sejarah dan cagar budaya kuno seperti kegiatan-kegiatan yang secara tidak langsung mengenalkan akan sejarah dan cagar budaya kota. Adanya pemahaman masyarakat entang sejarah dan cagar budaya klasik akan membuat kedua hal tersebut lestari dan dapat dimanfaatkan secara signifikan baik oleh pemerintah, akademisi, dan masyarakat sendiri.Kata Kunci : Pelestarian, Cagar Budaya Klasik, Nganjuk.
BATIK TULIS SARI KENONGO TAHUN 1997-2017 MEILANI, ELSA; ALRIANINGRUM, SEPTINA
Avatara Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Batik Sari Kenongo lahir di Desa Kenongo, Kecamatan Tulangan, Kabupaten Sidoarjo hasil kreasi dari Painah. Berdasarkan informasi masyarakat batik ini ada sejak tahun 1997. Motif batik Sari Kenongo terutama motif Bunga Sirih Sunduk Kentang menjadi ciri khas batik tersebut. Batik tulis Sari Kenongo Sidoarjo dijadikan sebagai obyek penelitian agar semakin dikenal luas oleh masyarakat dan patut dilestarikan perkembangannya. Penelitian ini membahas mengenai (1) bagaimana latar belakang lahirnya batik sari kenongo; (2) bagaimana perkembangan batik sari kenongo tahun 1997-2017. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas membatik di desa Kenongo sudah ada sejak adanya batik tulis Kenongo yang didirikan oleh Oesman Jasir tahun 1970an. Tahun 1995 pemilik batik tulis Kenongo meninggal dunia, sehingga usaha tersebut tidak ada yang meneruskan. Painah yang telah menjadi kepercayaan Oesman Jasir berinisiatif mendirikan kembali batik tulis dengan nama Sari Kenongo untuk memberdayakan masyarakat sekitar desa Kenongo pada tahun 1997. Tahun 1997 menjadi awal lahirnya batik Sari Kenongo dan mulai diakui keberadaan sebagai jenis batik khas Sidoarjo lainnya oleh pemerintah Sidoarjo.Batik tulis Sari Kenongo mengalami kemajuan pesat sejak tahun 2009. Produksinya semakin meningkat sejak Painah mengikuti workshop dan pameran dari satu tempat ke tempat lainnya. Awalnya batik tulis Sari Kenongo hanya menerima orderan/pesanan perorangan. Lambat laun batik ini mulai menerima orderan dari kantor-kantor pemerintah, swasta, dan pesanan orderan seragam sekolah. Batik ini juga mulai meraba ke pembuatan batik printing batik cap.Kata Kunci : Batik, Sari Kenongo, Sidoarjo
PENGGABUNGAN KABUPATEN ADIKARTO DENGAN KABUPATEN KULON PROGO MENJADI KABUPATEN KULON PROGO PADA TAHUN 1951 FATONI, ACHMAD; ALRIANINGRUM, SEPTINA
Avatara Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kabupaten Kulon Progo merupakan wilayah dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarto merupakan wilayah dari kadipaten Pakualaman. Pada tahun 1951 kedua wilayah digabung menjadi satu menjadi Kabupaten Kulon Progo. Penggabungan wilayah merupakan yang pertama di Indonesia pada masa itu, dan pada masa itu juga terjadi pemekaran wilayah di Indonesia bahkan sampai sekarang, termasuk berdirinya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari Propinsi Jawa Tengah, sehingga menjadikan Yogyakarta menjadi propinsi tertua kedua setelah 8 propinsi pertama milik Indonesia. Berdasarkan dengan latar belakang tersebut, maka diperoleh beberapa rumusan masalah yaitu 1). Apa yang melatarbelakangi adanya penggabungan kabupaten Adikarto dengan Kabupaten Kulon Progo menjadi Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1951. 2). Bagaimana perkembangan Kabupaten Kulon Progo pasca integrasi di bidang politik, ekonomi, sosial dan kesehatan tahun 1951-1956. Berdasarkan dengan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penggabungan kedua kabupaten dan dampak dari hasil penggabungan kedua kabupaten tersebut dalam berbagai bidang pada masa itu. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.Hasil penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut, penggabungan Kabupaten Adikarto dengan Kabupaten Kulon Progo menjadi Kabupaten Kulon Progo merupakan sebuah kebijakan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan KGPAA Paku Alam VIII. Adanya kebijakan ini untuk mempersiapkan kabupaten-kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi Kabupaten yang mandiri, mengingat akan berlakunya Undang-Undang Otonomi Kabupaten. Dampak negatif dari penggabungan dari segi politik, ekonomi, sosial, dan kesehatan tidak ada bahkan masyarakat menerima dan mendukung serta mengalami peningkatan karena adanya bantuan dari pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Namun dari segi politik terdapat masalah, yakni sampai tahun 1953, DPRD Kabupaten Kulon Progo yang baru masih belum terbentuk, dan nasib anggota DPRD Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarta masih membingungkan. Namun pada tahun 1955 baru terbentuk anggota DPRD Kabupaten Kulon Progo Baru setelah pemilihan umum.Kata Kunci: Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Adikarto, Kebijakan, Integrasi, Proses dan Dampak