
Najib Burhani
I received my PhD in Religious Studies, with emphasis on sectarian movements in Islam and religious minorities with Islamic origin such as Ahmadiyya, Druze, Isma'ili, Yazidi, and Baha'i Faith, from University of California- Santa Barbara. Currently I am a researcher at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Indonesia. Among my publications are Muhammadiyah Jawa (2010), 'Tarekat' tanpa Tarekat (2002), Sufisme Kota (2001), and Islam Dinamis (2001).
Supervisors: Juan E. Campo, R. Stephen Humphreys, Mark Juergensmeyer, and Ahmad Atif Ahmad
Supervisors: Juan E. Campo, R. Stephen Humphreys, Mark Juergensmeyer, and Ahmad Atif Ahmad
less
Uploads
Books by Najib Burhani
Penutupan lokalisasi tersebut berkait kelindan dengan beberapa isu, diantaranya adalah: ekonomi,pembangunan dan tata ruang kota, moralitas, serta kesehatan masyarakat. Dalam hal ekonomi dan pembangunan kota, Pemkot Surabaya berencana untuk meningkatkan nilai ekonomi kota melalui pembangunan jalan, kawasan perdagangan dan pusat industri rumah tangga yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) akan mengenai wilayah Dolly dan Jarak. Secara moral, adanya lokalisasi dianggap merusak tatanan rumah tangga dan masa depan anak-anak. Sedangkan secara kesehatan masyarakat, lokalisasi dianggap sebagai pusat penularan penyakit kelamin.
Lokalisasi merupakan tempat suatu kota atau desa yang bertemakan seksualitas. Jasa yang ditawarkan di lokalisasi bisa beragam, tidak hanya terbatas pada bentuk prostitusi atau PSK. Beberapa bisnis lain yang berada di kawasan lokalisasi adalah panti pijat, perdagangan alat untuk seks, salon kecantikan, pub dan minum-minuman keras dan tempat parkir. Meskipun disebut sebagai lokalisasi, namun semua lokalisasi di Surabaya secara lokasi tidak terpisah dari perumahan penduduk. Tidak ada tembok yang memisahkannya dengan masyarakat sekitar. Bahkan lokalisasi itu tidak jauh dari beberapa Sekolah Dasar (SD), musholla, masjid dan gereja. Tempat tinggal PSK dan keseluruhan aktivitasnya pun menyatu dengan masyarakat sekitar. Jika mengacu pada definisi lokalisasi, maka "Berbagai tempat prostitusi di Surabaya tidak bisa disebut sebagai lokalisasi". Tempat yang dapat dikatakan sebagai lokalisasi adalah Kramat Tunggak di Jakarta yang kini telah ditutup.
Dengan mengacu pada teori Lavebvre, maka lokalisasi di Surabaya itu terjadi dengan sendirinya sebagai tempat orang untuk mempresentasikan dirinya (space of representation), bukan sebagai tempat yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan atau kegiatan tertentu (representation of space). Lokalisasi itu terbentuk dengan sendirinya melalui aktivitas sehari-hari yang dimulai dari satu wisma yang kemudian berkembang terus menjadi banyak. Ini yang disebut Lavebvre sebagai proses pemaknaan space atau the production of space.
• Of these two mainstream organizations, Muhammadiyah is often perceived to be the more conservative one. This organization is seen to be closer and showing more affinity to Islamist groups. On political issues, for instance, Muhammadiyah was still steered by Islamist imagery of the ruling based on religion or the dominance of Muslim in Indonesia.
• Despite several efforts to introduce new perspectives, on cultural issues, Muhammadiyah is often guided by its old principle on the enmity towards, what is called, the TBC (takhayul, bid’ah and churafat; delusions, religious innovation without precedence in the Prophetic traditions and the Qur’an, and superstitions or irrational belief). This position has placed Muhammadiyah in an uneasy relationship with local culture and also traditionalist Islam.
• The three issues that occurred in 2017 --the banning of the HTI, the recurrent controversy on the PKI, and the ruling of the Constitutional Court on Penghayat Kepercayaan-- fall within the cultural spectrum of Muhammadiyah’s standing. They are the issues where Muhammadiyah has a shaky position, becoming easily drawn into Islamist and conservative tendencies.
• Despite the conservative political and cultural accusation, Muhammadiyah does not change from its raison d’être as a social movement with strong emphasis on social services and guided by its long-held theology of al-Mā`ūn (kindness).
• It is the theology of al-Mā’ūn that has been able to prevent Muhammadiyah from dwelling on mythical or abstract issues and neutralize Muhammadiyah from Islamist inclination. It brings the members of Muhammadiyah to become more realistic in seeing the world, distance themselves from the utopic vision of caliphate, the dream of sharia as the Messiah that will solve every problem, or the temptation to create an Islamic state.
• The theology of al-Mā’ūn has directed Muhammadiyah into adopting “pragmatic Islamism”. It is an Islamism that communicates with the dynamics in society or which experiences social dynamics.
● Undermining the teachings and ideology of radicalism seems to be more complicated than direct armed confrontation. Killing terrorist does not always mean killing terrorism. It could even have the opposite impact, i.e. strengthening and fertilizing the radical ideology. It is for the purpose of countering the ideology of terrorism and domesticating radicalism that the government supported NU (Nahdlatul Ulama) in promoting Islam Nusantara, widely believed to be the ideological antidote for radicalism and terrorism.
● Proponents of Islam Nusantara believe that radical ideology is against the characters of Islam Nusantara, i.e. peaceful, smiling, tolerant, moderate, and accommodative to culture. The radical and intolerant ideology are commonly seen in NU circle as brought and disseminated by trans-national movements, such as Hizbut Tahrir and Salafi-Wahhabi groups. They are not terrorist groups, but they teach intolerant and exclusive religiosity which provide a breeding ground for terrorism.
● Within Indonesian Muslims, including NU, Islam Nusantara has received various responses and resistance. The emergence of NU Garis Lurus and the concerted efforts to debunk Islam Nusantara by some preachers are among the forms of activities to undermine Islam Nusantara.
● The introduction of Islam Nusantara is further hampered by the attitude of some of its proponents who emphasize the exclusivity of this brand by identifying Islam Nusantara only with NU and neglecting other Islamic movements. Sometimes, they tend to become reductionist and revisionist in seeing Indonesian Islamic history.
● Barring its current limits, Islam Nusantara has a potential to become an exceptional Islam or a template of tolerant Islam that can be emulated by other Muslims in the world. This particularly with its ability to accommodate local culture and to live in a multicultural society.
Proses perpindahan dari keyakinan keagaman tertentu ke keyakinan lain, menurut William James, pakar psikologi ternama dari Amerika Serikat yang hidup tahun 1842 – 1910, disebut sebagai proses conversion. Proses ini tidak melulu berarti perpindahan dari agama tertentu ke agama lain seperti dari Kristen ke Islam dan dari Hindu ke Kristen, tapi juga mencakup perpindahan dari kelompok agama tertentu ke kelompok agama lain, seperti dari Sunni ke Syiah dan dari Jesuit ke Mormon. Bahkan, perpindahan dari seorang yang sebelumnya merupakan penganut agama atau beriman menjadi seorang ateis atau sebaliknya adalah termasuk dalam kategori conversion.
Pertanyaannya, apakah perpindahan dari seseorang yang secara kultural adalah pengikut NU (Nahdlatul Ulama) menjadi aktivis Muhammadiyah bisa disebut sebagai proses konversi juga? Jika mengikuti William James, maka jawaban dari pertanyaan adalah bisa “ya” dan bisa juga “tidak”. Ini tentu mengacu pada definisi dari kata konversi itu sendiri. Dalam buku klasiknya yang berjudul The Varieties of Religious Experience (1985), William James mendefinikan konversi sebagai sebuah proses dimana “religious ideas, previously peripheral in his consciousness, now take a central place, and that religious aims form the habitual centre of his energy” (h. 196). Artinya, konversi itu terjadi jika suatu pandangan keagamaan yang dulunya hanya dianggap pinggiran dan tak penting atau bahkan menyimpang oleh seseorang, namun kemudian ia berubah menjadi meyakini bahwa yang pinggiran itu menjadi sentral atau sangat penting, maka orang itu telah mengalami apa yang disebut proses konversi. Apalagi jika keyakinan baru menjadi tempat ia menumpahkan seluruh aktivitas dan energinya.
Mengikuti definisi yang dikembangkan oleh James itu, maka beberapa kasus perpindahan dari NU ke Muhammadiyah atau sebaliknya bisa masuk kategori konversi dan bisa juga sekadar perpindahan organisasi. Arifin Ilham, da’i selebritis dan pelopor dzikir berjamaah, bisa menjadi contoh konversi model ini. Ia berasal dari keluarga Muhammadiyah dan mendapat pendidikan di sekolah Muhammadiyah. Pada masa mudanya Arifin Ilham adalah orang yang benci dan antipati terhadap dzikir. Ia, misalnya, pernah mengatakan kepada orang-orang yang berdzikir bahwa “Mereka itu ahli neraka. Zikir pake dikerasin segala, ramai-ramai lagi” (Mintarja 2004, 41). Namun kini Arifin Ilham menjadi orang yang memilih dzikir sebagai paradigm hidup dan sesuatu yang paling sentral dalam hidupnya. Contoh sebaliknya, konversi dari non-Muhammadiyah ke Muhammadiyah, barangkali bisa dilihat dari kasus Ketua Umum Muhammadiyah saat ini, yaitu Din Syamsuddin.
Berbeda dari kasus Arifin Ilham, banyak sekali orang yang menjadi Muhammadiyah karena dia diangkat menjadi guru atau dosen atau tenaga medis di lembaga milik Muhammadiyah. Ada juga yang menjadi Muhammadiyah karena sekolah di Muhammadiyah. Tentu saja tak semua orang itu bisa disebut mengalami konversi. Mereka yang tak mengalami transformasi spiritual tak akan masuk kategori konversi. Mereka masuk kategori kedua, yaitu hanya “menjadi” (becoming) Muhammadiyah. Beberapa diantara mereka bisa jadi sama sekali tak memahami ideologi Muhammadiyah dan secara ritual berbeda dari apa yang umum dilakukan di Muhammadiyah. Kelompok ini barangkali tak perlu dipermasalahkan selama mereka tetap profesional dalam pekerjaannya dan tidak mengganggu aktivitas Muhammadiyah.
Yang merepotkan adalah mereka yang ada di dalam amal usaha Muhammadiyah namun tak pernah menjadi Muhammadiyah dan justru sebaliknya mereka menjadi ancaman bagi Muhammadiyah. Kelompok ketiga ini mungkin bisa disebut sebagai “Muhammadiyah palsu” atau “fake Muhammadiyah”. Kasus tahun 2006 dan 2007 ketika Muhammadiyah melakukan “disiplin organisasi” dengan mengeluarkan SK 149/2006 dan SK 101/2007 bisa menjadi contoh (Burhani 2013). Tentu saja ada berbagai alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Kita tak hanya perlu menengok hal ini sebagai ancaman dari luar, tapi juga bisa dilihat sebagai kekurang berhasilan proses pengkaderan di internal Muhammadiyah.
Bentuk terakhir adalah mereka yang tidak sekadar “menjadi Muhammadiyah”, tapi “menjadi aktivis Muhammadiyah” namun dengan tetap membawa gerbong pemahaman dan pemikiran yang sebelumnya dimiliki oleh orang tersebut. Mereka yang masuk dalam kategori ini sangat banyak dan, meminjam istilah dari Abdul Munir Mulkhan dan Abdul Mukti, mereka inilah yang kemudian menjadi dasar dari kelompok yang disebut sebagai Marmud (Marhaen-Muhamadiyah), MuNU (Muhammadiyah-NU), Kris-Muha (Kristen-Muhammadiyah), dan sebagainya. Keberadaan kelompok ini bisa memperkaya warna Muhammadiyah dan menghidupkan gerakan pemikiran di organisasi ini jika dikelola dengan baik. Dan tentu saja jika Muhammadiyah ingin menjadi organisasi yang kosmopolit, ia harus siap menerima orang dengan latar belakang yang sangat beragam.
Karena Din Syamsuddin tidak lagi menjadi pimpinan Muhammadiyah, maka barangkali ini saat yang tepat untuk membicarakan legacy atau karya unggulan yang ia wariskan kepada organisasi modernis terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, yang berdiri tahun 1912 ini. Tentu saja ada catatan yang sering disebut sebagai kekurangannya selama sepuluh tahun (2005-2015) memimpin Muhammadiyah, misalnya kurang berhasilnya organisasi ini dalam menempatkan kader-kader terbaiknya dalam birokrasi pemerintahan. Namun tulisan ini khusus melihat apa saja warisan dan prestasi dari Din Syamsuddin yang patut dilanjutkan oleh para penerusnya di Muhammadiyah.
Globalisasi sering dipahami sebagai proses penyatuan dunia dimana waktu, jarak dan tempat bukan lagi persoalan dan ketika setiap hal dan setiap orang di bumi ini terkait satu sama lain. Ada empat pergerakan utama dalam globalisasi, yaitu: barang dan layanan, informasi, orang, dan modal. Perpindahan keempat hal tersebut dari satu negara ke negara lain memang telah terjadi sejak dahulu kala. Namun perpindahan dengan sangat cepat hanya terjadi setelah revolusi dalam teknologi telekomunikasi dan transportasi pada beberapa dekade belakangan ini. Akibat dari revolusi itu, dimensi jarak dan waktu menjadi semakin kabur dan sedikit demi sedikit menghilang.
Dalam konteks Indonesia, globalisasi ini menyebabkan masyarakat secara mudah mengakses informasi dari luar ataupun berinteraksi secara intens dalam sebuah ruang global. Ketika ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) mendeklarasikan kekhilafahan dibawah Abu Bakar al-Baghdadi, kita dikejutkan dengan adanya sejumlah orang Indonesia yang sudah bergabung dengan mereka di Timur Tengah dan sebagian dari mereka merekrut anggota di Indonesia serta melakukan baiat di UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta. Ketika konflik Sunni dan Syiah terjadi di Suriah, pengaruhnya merembet ke Indonesia dengan munculnya gerakan anti-Syiah seperti dalam bentuk ANNAS (Aliansi Nasional Anti-Syiah).
Globalisasi juga menyebabkan Trans-National Capitalist Network (TNC) masuk dalam kehidupan masyarakat dan menyedot kekayaan yang mestinya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. Bekerjasama dengan ‘komprador’, para kapitalis global itu menciptakan jurang yang begitu lebar antara mereka yang kaya dan miskin seperti terjadi di daerah penambangan Freeport di Papua.
Filosofi yang mendasari globalisasi adalah asimilasionisme. Dalam filosofi ini, yang kuat akan mendominasi yang lemah. Makanya, dalam globalisasi budaya, salah satu dampaknya adalah homogenisasi. Ini, misalnya, terwujud dalam bentuk McWorld atau McDonaldization. Contoh lainnya adalah memandang Islam secara homogen dengan mengidentikkannya dengan Arab dan Arabisasi.
Islam Nusantara
Homogenisasi ini tentu tidak serta merta diterima oleh masyarakat. Respon balik atau resistensi terhadap homogenisasi ini diantaranya dalam bentuk indigenization. Islam Nusantara yang dipopulerkan anak-anak NU dan menjadi tema Muktamar NU ke-33 di Jombang pada 1-5 Agustus nanti adalah satu bentuk respon terhadap globalisasi dengan melakukan indigenisasi.
Islam Nusantara merupakan istilah yang sering dipakai untuk mengacu kepada Islam ala Indonesia yang otentik; langgamnya Nusantara, tapi isi dan liriknya Islam; bajunya Indonesia, tapi badannya Islam. Ide Islam Nusantara ini berkaitan dengan gagasan “pribumisasi Islam” yang pernah dipopulerkan almarhum KH Abdurrahman Wahid. Penggunaan resmi nama ini diantaranya adalah dalam Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 26 tahun 2008.
Munculnya Islam Nusantara adalah bagian dari apa yang biasanya disebut sebagai “paradoks globalisasi”. Dalam istilah TH Erikson (2007, 14), “Semakin orang mengglobal seringkali dia menjadi semakin terobsesi dengan keunikan budaya asalnya.” Dalam kalimat ilmuwan lain, “ketika dunia semakin global maka perbedaan-perbedaan kecil antar umat manusia itu semakin ditonjolkan” (Ang 2014, 10). Banyak yang menduga bahwa semakin kita mengenal dunia luar dan kelompok yang berbeda, maka kita menjadi semakin terbuka. Namun seringkali yang terjadi tidak sejalan dengan logika itu. Di tengah globalisasi, banyak orang yang semakin fanatik dan tidak menerima perbedaan serta pluralitas. Ini misalnya terjadi dalam beberapa pilkada yang “mengharuskan” putra daerah yang dipilih. Dalam konteks dunia, justru di era globalisasi ini hampir setiap tahun kita melihat kemunculan negara baru dalam keanggotaan PBB.
Tentu saja respon terhadap globalisasi dalam bentuk “Islam Nusantara” adalah pilihat terbaik dibandingkan dengan penolakan total atau penerimaan total. Dalam merespon terhadap globalisasi, terutama yang datang dari Barat, beberapa kelompok agama justru mencari perlindungan dalam homogenitas dan eksklusivitas kelompoknya. Sepertinya kedamaian itu bisa terjadi dengan menolak keragaman atau sesuatu yang asing. Di tengah globalisasi, banyak orang yang mencoba menutup diri dan menghalangi orang yang berbeda hadir di tengah masyarakat. Fenomena munculnya perumahan atau cluster perumahan eksklusif untuk komunitas agama tertentu adalah misal. Bahkan kuburan/ pemakaman dan rumah kos pun kadang dibuat untuk pengikut agama tertentu. Respon terhadap globalisasi yang lebih buruk lagi tentu saja seperti dalam bentuk redikalisme dan terorisme. Islam Nusantara bisa menjadi respon yang sangat baik terhadap globalisasi jika ia tidak mengarah kepada parokhialisme dan sektarianisme.
Islam Berkemajuan
Respon lain terhadap globalisasi ditampilkan oleh Muhammadiyah dengan slogan “Islam berkemajuan”. Sebelum tahun 2009, slogan ini jarang terdengar bahkan di kalangan Muhamadiyah sendiri. Ia baru diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam, dengan terbitnya buku berjudul Islam Berkemajuan: Kyai Ahmad Dahlan dalam Catatan Pribadi Kyai Syuja’ (2009). Buku yang ditulis oleh murid langsung Kyai Dahlan ini diantaranya menjelaskan seperti apa karakter Islam yang dibawa oleh Muhammadiyah. Istilah yang dipakai oleh Muhammadiyah awal untuk menyebut dirinya adalah “Islam berkemajuan”. Pada Muktamar di Yogyakarta tahun 2010, istilah ini lantas dipakai dan dipopulerkan untuk mengidentifikasi karakter ke-Islaman Muhammadiyah.
Dalam kaitannya dengan globalisasi, Islam berkemajuan itu sering dimaknai sebagai “Islam kosmopolitan”, yakni kesadaran bahwa umat Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia yang memiliki “rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab universal kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordial dan konvensional” (Tanfidz Muhammadiyah 2010, 18). Mengapa Islam kosmopolitan menjadi pilihan Muhammadiyah? Muhammadiyah menyadari bahwa kelahirannya merupakan produk dari interaksi Timur-tengah dan Barat yang dikemas menjadi sesuatu yang otentik di Indonesia. Ia memadukan pemikiran Muhammad Abduh, sistem yang berkembang di Barat, dan karakter Indonesia. Karena itu, kosmopolitanisme yang dikembangkan Muhammadiyah diharapkan menjadi wahana bagi untuk dialog antar peradaban.
Ringkasnya, kelahiran dari slogan “Islam Nusantara” dan “Islam berkemajuan” memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi pada tahun 1920-an. Ketika itu, sebagai respon terhadap berbagai peristiwa di Arabia dan Turki (comite chilafat dan comite hijaz), maka lahirlah NU. Sementara Muhammadiyah lahir sebagai reaksi terhadap penjajahan, misi Kristen, pemikiran Abduh, dan budaya Jawa. Bisa dikatakan bahwa apa yang terjadi saat ini adalah semacam Déjà vu.
Sebagai sebuah sistem pemerintahan, khilafah telah hancur pada Maret 1924 setelah sistem ini berjalan lebih dari 13 abad semenjak wafatnya Nabi Muhammad tahun 632 Masehi. Namun sebagai wacana, gagasan untuk membangun kembali khilafah itu terus muncul dalam tubuh sebagian umat Islam. Tahun 2007 lalu, misalnya, Universitas Meryland mengadakan survey terhadap 4.384 orang Islam di empat negara (Maroko, Mesir, Pakistan, dan Indonesia). Salah satu pertanyaannya adalah pandangan mereka tentang khilafah. Mereka yang memberikan jawaban “sangat setuju” (agree strongly) dan “agak setuju” (agree somewhat) adalah sebagai berikut: Mesir (67%), Indonesia (49%), Maroko (71%), dan Pakistan (67%). Selain HT dan Al-Qaida, salah satu promoter wacana khilafah adalah Abul A’la Maududi (1903-1979) yang, misalnya, menyebutkan bahwa khilafah adalah salah satu dari tiga prinsip politik Islam, yaitu tauhid, risalah (kenabian), dan khilafah (Maududi tt.; Liebl 2009, 373-4).
Dalam wacana tentang khilafah ini, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa kalau Ahmadiyah diakui sebagai bagian dari Islam, maka sistem kekhilafahan Islam itu sebetulnya tidaklah benar-benar hancur. Ini karena sebelum kekhilafahan Turki Utsmani dibubarkan oleh Mustafa Kemal Ataturk, pada tahun 1908 kelompok Ahmadiyah telah mendirikan kekhilafahan baru di India. Hanya saja, karena kelompok ini sering dipandang sebagai kelompok sesat dan di luar Islam, maka kekhilafahan Ahmadiyah sering tak diperhatikan oleh umat Islam lain.
Tulisan ini secara lebih khusus akan melihat sistem kekhilafahan Ahmadiyah dan sekilas perbedaannya dengan sistem kekhilafan Islam yang lain. Beberapa pertanyaan yang hendak dibahas dalam tulisan ini adalah: Bagaimana sistem khilafah Ahmadiyah itu terbentuk dan bagaimana cara memilih khalifah? Apa dasar otoritas dari khalifah dan apa batas kekuasaan yang dimilikinya? Apakah ada batasan masa kekuasaan dari seorang khalifah? Kekhilafahan Ahmadiyah, yang menjadi bahasan utama tulisan ini, diangkat untuk memberikan bayangan perbandingan tentang wujud dari sistem khilafah itu ketika diterapkan oleh kelompok Islam di masa kontemporer. Tentu saja akan terjadi berbagai variasi ketika sistem khilafah diterapkan oleh umat Islam yang berbeda, namun ada elemen yang sama dalam semua sistem khilafah, diantaranya adalah adanya bayangan tentang persatuan seluruh umat Islam dibawah satu khalifah dan adanya otoritas keagamaan yang luar biasa pada diri khalifah.