Academia.eduAcademia.edu

Outline

Empat Kategori "Menjadi Muhammadiyah"

Abstract

Burhani, Ahmad Najib. 2016. “Empat kategori ‘Menjadi Muhammadiyah’” dalam Menjadi Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Kaum Islam Berkemajuan. eds. Hajriyanto Y. Thohari at al., hal. 19-34. Bandung: Mizan. Proses perpindahan dari keyakinan keagaman tertentu ke keyakinan lain, menurut William James, pakar psikologi ternama dari Amerika Serikat yang hidup tahun 1842 – 1910, disebut sebagai proses conversion. Proses ini tidak melulu berarti perpindahan dari agama tertentu ke agama lain seperti dari Kristen ke Islam dan dari Hindu ke Kristen, tapi juga mencakup perpindahan dari kelompok agama tertentu ke kelompok agama lain, seperti dari Sunni ke Syiah dan dari Jesuit ke Mormon. Bahkan, perpindahan dari seorang yang sebelumnya merupakan penganut agama atau beriman menjadi seorang ateis atau sebaliknya adalah termasuk dalam kategori conversion. Pertanyaannya, apakah perpindahan dari seseorang yang secara kultural adalah pengikut NU (Nahdlatul Ulama) menjadi aktivis Muhammadiyah bisa disebut sebagai proses konversi juga? Jika mengikuti William James, maka jawaban dari pertanyaan adalah bisa “ya” dan bisa juga “tidak”. Ini tentu mengacu pada definisi dari kata konversi itu sendiri. Dalam buku klasiknya yang berjudul The Varieties of Religious Experience (1985), William James mendefinikan konversi sebagai sebuah proses dimana “religious ideas, previously peripheral in his consciousness, now take a central place, and that religious aims form the habitual centre of his energy” (h. 196). Artinya, konversi itu terjadi jika suatu pandangan keagamaan yang dulunya hanya dianggap pinggiran dan tak penting atau bahkan menyimpang oleh seseorang, namun kemudian ia berubah menjadi meyakini bahwa yang pinggiran itu menjadi sentral atau sangat penting, maka orang itu telah mengalami apa yang disebut proses konversi. Apalagi jika keyakinan baru menjadi tempat ia menumpahkan seluruh aktivitas dan energinya. Mengikuti definisi yang dikembangkan oleh James itu, maka beberapa kasus perpindahan dari NU ke Muhammadiyah atau sebaliknya bisa masuk kategori konversi dan bisa juga sekadar perpindahan organisasi. Arifin Ilham, da’i selebritis dan pelopor dzikir berjamaah, bisa menjadi contoh konversi model ini. Ia berasal dari keluarga Muhammadiyah dan mendapat pendidikan di sekolah Muhammadiyah. Pada masa mudanya Arifin Ilham adalah orang yang benci dan antipati terhadap dzikir. Ia, misalnya, pernah mengatakan kepada orang-orang yang berdzikir bahwa “Mereka itu ahli neraka. Zikir pake dikerasin segala, ramai-ramai lagi” (Mintarja 2004, 41). Namun kini Arifin Ilham menjadi orang yang memilih dzikir sebagai paradigm hidup dan sesuatu yang paling sentral dalam hidupnya. Contoh sebaliknya, konversi dari non-Muhammadiyah ke Muhammadiyah, barangkali bisa dilihat dari kasus Ketua Umum Muhammadiyah saat ini, yaitu Din Syamsuddin. Berbeda dari kasus Arifin Ilham, banyak sekali orang yang menjadi Muhammadiyah karena dia diangkat menjadi guru atau dosen atau tenaga medis di lembaga milik Muhammadiyah. Ada juga yang menjadi Muhammadiyah karena sekolah di Muhammadiyah. Tentu saja tak semua orang itu bisa disebut mengalami konversi. Mereka yang tak mengalami transformasi spiritual tak akan masuk kategori konversi. Mereka masuk kategori kedua, yaitu hanya “menjadi” (becoming) Muhammadiyah. Beberapa diantara mereka bisa jadi sama sekali tak memahami ideologi Muhammadiyah dan secara ritual berbeda dari apa yang umum dilakukan di Muhammadiyah. Kelompok ini barangkali tak perlu dipermasalahkan selama mereka tetap profesional dalam pekerjaannya dan tidak mengganggu aktivitas Muhammadiyah. Yang merepotkan adalah mereka yang ada di dalam amal usaha Muhammadiyah namun tak pernah menjadi Muhammadiyah dan justru sebaliknya mereka menjadi ancaman bagi Muhammadiyah. Kelompok ketiga ini mungkin bisa disebut sebagai “Muhammadiyah palsu” atau “fake Muhammadiyah”. Kasus tahun 2006 dan 2007 ketika Muhammadiyah melakukan “disiplin organisasi” dengan mengeluarkan SK 149/2006 dan SK 101/2007 bisa menjadi contoh (Burhani 2013). Tentu saja ada berbagai alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Kita tak hanya perlu menengok hal ini sebagai ancaman dari luar, tapi juga bisa dilihat sebagai kekurang berhasilan proses pengkaderan di internal Muhammadiyah. Bentuk terakhir adalah mereka yang tidak sekadar “menjadi Muhammadiyah”, tapi “menjadi aktivis Muhammadiyah” namun dengan tetap membawa gerbong pemahaman dan pemikiran yang sebelumnya dimiliki oleh orang tersebut. Mereka yang masuk dalam kategori ini sangat banyak dan, meminjam istilah dari Abdul Munir Mulkhan dan Abdul Mukti, mereka inilah yang kemudian menjadi dasar dari kelompok yang disebut sebagai Marmud (Marhaen-Muhamadiyah), MuNU (Muhammadiyah-NU), Kris-Muha (Kristen-Muhammadiyah), dan sebagainya. Keberadaan kelompok ini bisa memperkaya warna Muhammadiyah dan menghidupkan gerakan pemikiran di organisasi ini jika dikelola dengan baik. Dan tentu saja jika Muhammadiyah ingin menjadi organisasi yang kosmopolit, ia harus siap menerima orang dengan latar belakang yang sangat beragam.