Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebaya dan kelas sosial wanita Jawa pada masa kolonial (1890-1940) dengan menggunakan perspektif teori habitus Pierre Bourdieu, serta mengetahui bagaimana kebaya berperan dalam tekanan struktur sosial pada masa kolonial tersebut. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dengan studi analisis pustaka melalui data arsip, foto, dan literatur seperti buku dan jurnal yang terkait dengan pembahasan kebaya dan kelas sosial di Hindia Belanda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebaya tidak hanya berfungsi sebagai pakaian tradisional, tetapi juga sebagai simbol yang mencerminkan dan mempengaruhi kelas sosial wanita. Pada era kolonialisme, kebaya dikenakan oleh kalangan bangsawan hingga rakyat biasa, termasuk wanita keturunan Tionghoa dan Belanda. Hal ini berhasil menunjukkan adaptasi mereka terhadap budaya lokal. Variasi desain, pola, warna, hingga bahan dari kebaya sendiri menggambarkan status sosial yang mempertahankan struktur sosial dalam masyarakat kolonial. Berbagai jenis kebaya juga tercipta di era kolonial seperti Kebaya Kartini, Kebaya Encim, Kebaya Eropa, dan lainnya. Melalui perspektif habitus, kebaya dapat dipahami sebagai bagian dari kebiasaan sosial yang dipengaruhi oleh struktur sosial dan kesejarahan. Penelitian ini memberikan perspektif baru dengan menerapkan teori kebiasaan yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, yang membantu menjelaskan bagaimana kebaya tidak hanya sebagai pakaian tetapi juga sebagai simbol status dan identitas yang diperoleh dan dipertahankan melalui praktik sosial. Signifikansi penting dalam penelitian ini adalah memperkaya pemahaman tentang bagaimana kebaya berperan dalam dinamika sosial dan budaya pada masa kolonial di Indonesia. Kesimpulannya, kebaya merupakan alat penting dalam pembentukan dan reproduksi struktur kelas sosial di Jawa pada masa kolonial, sesuai dengan teori habitus Pierre Bourdieu yang menghubungkan praktik budaya dengan posisi status sosial.