Ery Olivianto
Divisi Respirologi-Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang, Indonesia

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Kadar C-Reactive Protein (CRP) Serum sebagai Pertanda Prognosis pada Pasien Pneumonia Anak. Afina, Nisrina Nur; Olivianto, Ery; Sujuti, Hidayat
Majalah Kesehatan FKUB Vol 1, No 3 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (268.355 KB)

Abstract

Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Menurut Survey Kesehatan Nasional (SKN) 2001, 27,6 % kematian bayi dan 22,8 % kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respirasi, terutama pneumonia. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari pertanda yang dapat dipakai sebagai penentu prognosis pasien pneumonia. Namun belum ada  pertanda untuk menilai prognosis pneumonia anak.  Salah satu alternatif pertanda  yang dapat dipakai sebagai nilai prognosis untuk pneumonia anak adalah dengan menggunakan nilai CRP (C-reactive protein).  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kegunaan nilai CRP sebagai pertanda prognostik pada pasien pneumonia anak. Penelitian ini menggunakan prospective-cohort study terhadap 26 subjek usia 1-60 bulan di RSUD dr.Saiful Anwar. Subjek yang telah didiagnosis pneumonia akan diukur kadar CRP pada hari pertama masuk rumah sakit. Perkembangan klinis pasien akan diikuti setiap hari selama berada di rumah sakit. Dari analisis statistik didapatkan nilai cut off CRP untuk kecepatan penurunan demam adalah 0,24 mg/dl dan pasien yang memiliki nilai CRP < 0,24 memiliki peluang lebih besar untuk memiliki perbaikan demam lebih dari 2 hari. Sementara nilai cut off CRP untuk kecepatan perbaikan gangguan nafas adalah 1,55 mg/dl dan pasien yang memiliki nilai CRP < 1,55 mg/dl memiliki peluang lebih besar untuk memiliki lama perbaikan gangguan nafas lebih dari 2 hari. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,15 untuk korelasi antara lama rawat dan CRP. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai CRP (C-reactive protein) kurang dapat diandalkan sebagai indikator untuk menentukan prognosis pasien pneumonia anak Kata kunci : CRP, Pneumonia, Pertanda prognosis.
Peran Probiotik dalam Pencegahan dan Pengobatan Diare Akut pada Anak Olivianto, Ery; Kusuma, Chandra
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 19, No 1 (2003)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2264.826 KB)

Abstract

Mikroba hidup telah bertahun-tahun digunakan dalam fermentasi makanan dan minuman, namun baru akhir-akhir ini dipelajari secara ilmiah untuk diteliti manfaatnya terhadap kesehatan manusia. Efek konsumsi probiotik pada anak sebagai pencegahan diare akut dan pengobatannya telah banyak dipelajari. Ternyata terbukti bahwa probiotik dapat mencegah diare akut pada anak terutama yang disebabkan oleh rotavirus yang merupakan penyebab terbesar diare infeksi akut pada anak. Selain itu probiotik juga terbukti dapat memperpendek durasi diare dan mengurangi derajat keparahannya serta memperpendek masa ekskresi virus pada diare yang disebabkan rotavirus mekanisme kerja probiotik dalam efek pencegahan dan terapi ini kebanyakan tidak diketahui, tetapi mungkin dengan cara memproduksi bahan antibakteri, berkompetisi dengan bakteri patogen untuk tempat perlekatan dan reseptor di mukosa usus, berkompetisi untuk bahan nutrisi dan faktor pertumbuhan, meningkatkan sistem kekebalan dan memproduksi enzim laktase.
Pengaruh Imunoterapi, Probiotik dan Jinten Hitam terhadap CD4+IFNγ, Eosinofil, dan Skor Asma Ratih, Indira; Kusuma, HMS Chandra; Barlianto, Wisnu; Olivianto, Ery
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 28, No 3 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (657.744 KB) | DOI: 10.21776/ub.jkb.2015.028.03.5

Abstract

Mekanisme patofisiologi asma terjadi berdasarkan proses inflamasi jalan nafas yang dipicu oleh limfosit T, dan berhubungan dengan berlebihnya produksi sitokin tipe 2 relatif terhadap sitokin tipe 1. Interferon-γ yang diproduksi oleh sel CD4+ merupakan antagonis IL-4 dan IL-5 yang berperan dalam patofisiologi asma. Pada asma juga terjadi eosinofilia bronkial yang merupakan penanda terjadinya proses inflamasi pada asma. Imunoterapi merupakan salah satu pengobatan pada asma yang menyebabkan pergeseran Th2 ke Th1 tetapi masih memliki beberapa keterbatasan, sehingga perlu penelitian baru mengenai ajuvan seperti probiotik dan jinten hitam untuk meningkatkan efektivitas dari imunoterapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian probiotik dan jinten hitam terhadap jumlah CD4+IFNγ, eosinofil dan perbaikan klinis pada anak asma yang mendapatkan imunoterapi fase rumatan. Penelitian ini merupakan penelitian randomized clinical trial. Sampel dibagi menjadi 4 kelompok (imunoterapi dan plasebo, imunoterapi dan probiotik, imunoterapi dan jinten hitam, serta imunoterapi, probiotik dan jinten hitam). Parameter imunologis diperiksa menggunakan flowcytometry dan perbaikan klinis dinilai menggunakan skor ACT. Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna dari CD4+IFNγ dan eosinofil darah jika dibandingkan antar 4 kelompok. Skor ACT menunjukkan perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah perlakuan pada semua kelompok. Dengan demikian, pemberian adjuvan probiotik atau jinten hitam, maupun kombinasi keduanya dapat meningkatkan perbaikan klinis pada penderita asma ringan, namun tidak menunjukkan perbedaan parameter imunologis antara lain CD4+IFNγ dan eosinofil.Kata Kunci: ACT, asma, CD4+IFNγ, eosinofil, imunoterapi, jinten hitam, probiotik
Efek Imunoterapi, Probiotik, Nigella Sativa terhadap Rasio CD4+/CD8+, Kadar Imunoglobulin E, dan Skoring Asma Fattory, Hittoh; Endharti, Agustina Tri; Barlianto, Wisnu; Olivianto, Ery; Kusuma, HMS Chandra
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 28, No 4 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jkb.2015.028.04.13

Abstract

Imunoterapi alergen-spesifik dan reduksi alergen merupakan intervensi pada penyakit alergi yang berpotensi untuk mengurangi gejala alergi jangka panjang. Penurunan sel T CD4+ dan CD8+ type 2 berkorelasi erat dengan mekanisme regulasi dari imunoterapi. Sejauh ini belum ada penelitian yang mengkaji pemberian jangka panjang imunoterapi, probiotik dan Nigella sativa terhadap modulasi respon imun, khususnya rasio sel T CD4+/CD8+, kadar imunoglobulin E (IgE) dan skoring asma. Desain penelitian berupa eksperimental randomized clinical trial (RCT), pre-post control study untuk rasio sel T CD4+/CD8+, kadar IgE dan skoring asma. Subjek dibagi 4 kelompok, imunoterapi+plasebo, imunoterapi+Nigella sativa, imunoterapi+probiotik, dan imunoterapi+Nigella sativa+probiotik. Semua perlakuan diberikan selama 56 minggu. Imunoterapi yang digunakan adalah imunoterapi house dust mite subkutan. Probiotik yang diberikan ProBi (Medifarma) berisi 2x109 colony forming unit (cfu)/gram Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium lactis. Skoring asma dinilai dengan skor Asthma Control Test. Rasio sel T CD4+/CD8+ diukur dengan flowcytometry, dan kadar IgE diukur menggunakan Chemiluminescence Enzyme Immunoassay. Hasil penelitian menunjukkan rasio sel T CD4+/CD8+ meningkat bermakna pada kelompok imunoterapi+Nigella sativa (p=0,027), imunoterapi+probiotik (p=0,001), dan imunoterapi+Nigella sativa+probiotik (p=0,046). Kadar IgE tidak berbeda bermakna pada kelompok imunoterapi+plasebo (p=0.,993), kelompok imunoterapi+Nigella sativa (p=0,756), imunoterapi+probiotik (p=0,105), dan imunoterapi+Nigella sativa+probiotik (p=0,630). Skoring asma meningkat bermakna pada kelompok imunoterapi+plasebo (p=0.000), imunoterapi+Nigella sativa (p=0,002), imunoterapi+probiotik (p=0,000), dan imunoterapi+Nigella sativa+probiotik (p=0,000). Sebagai kesimpulan, pemberianimunoterapi dengan ajuvan probiotik danatau Nigella sativa dapat meningkatkan secara bermakna rasio sel T CD4+/CD8+ dan skoring asma.Kata Kunci: Imunoglobulin E, imunoterapi, Nigella sativa, probiotik, rasio sel T CD4+/CD8+, skoring asma
Perbedaan Skor ACT, CD4+CD25+Foxp3treg, CD4+IFN-γ pada Pemberian Imunoterapi, Probiotik dan Nigella Sativa Sumantri, Debby Christinne; Sumarno, Sumarno; Barlianto, Wisnu; Olivianto, Ery; Kusuma, HMS Chandra
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 28, No 4 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jkb.2015.028.04.5

Abstract

Probiotik dan Nigella sativa memiliki efek imunomodulator dan telah banyak banyak dikaji penggunaannya dalam kombinasi dengan imunoterapi asma. Imunoterapi dapat merubah perjalanan alamiah asma yang melibatkan perubahan respon imun Th2 menjadi Th1 dengan peningkatan IFN-γ. Proses tersebut juga berhubungan dengan pembentukan Tregulator, tetapi belum jelas mekanisme mana yang lebih dominan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui perbedaan skor ACT serta jumlah sel CD4+CD25+FoxP3Treg dan CD4+IFN-γ pada anak asma ringan yang mendapat imunoterapi, probiotik dan Nigella sativa. Penelitian dilakukan dengan desain randomized clinical trial posttest only with control pada 32 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dalam 4 kelompok yaitu kelompok A (imunoterapi+plasebo), kelompok B (imunoterapi+Nigella sativa), kelompok C (imunoterapi+probiotik), dan kelompok D (imunoterapi+Nigella sativa+probiotik). Perlakuan diberikan selama 56 minggu (imunoterapi fase induksi 14 minggu dan fase rumatan 42 minggu). Imunoterapi berupa ekstrak house dust mite diberikan subkutan, probiotik berupa Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium lactis, dengan penilaian skoring asma menggunakan Asthma Control Test (ACT). Jumlah sel CD4+CD25+FoxP3+Treg dan CD4+IFN-γ diukur menggunakan flowcytometry. Hasil menunjukkan skor ACT kelompok C lebih tinggi bermakna dibandingkan kelompok A (p=0,04). Jumlah CD4+CD25+FoxP3+Treg paling tinggi pada kelompok D (15,966±9,720) , sedangkan jumlah CD4+IFN-γ paling tinggi pada kelompok C (17,506±11,576), tetapi tidak didapatkan perbedaan bermakna pada jumlah CD4+CD25+FoxP3+Treg (p=0,278) dan CD4+IFN-γ (p=0,367) antar semua kelompok. Dapat disimpulkan bahwa Imunoterapi+probiotik dapat meningkatkan skor ACT lebih baik dibandingkan imunoterapi saja. Imunoterapi, Nigella sativa, dan probiotik tidak memberikan perbedaan bermakna pada jumlah CD4+CD25+FoxP3 Treg dan CD4+IFN-γ.Kata Kunci: Asthma Control Test, CD4+CD25+FoxP3+Treg, CD4+IFN-γ, imunoterapi, Nigella sativa, probiotik
KUNJUNGAN PASIEN ANAK DI ERA COVID-19: PERBANDINGAN TRIMESTER AKHIR 2020 DAN 2021 DI IGD RSUD SOEDONO MADIUN Habibah, Fitria Ummu; Santoso, Finariawan Asrining; Olivianto, Ery
Majalah Kesehatan Vol. 10 No. 4 (2023): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/majalahkesehatan.2023.010.04.6

Abstract

Usia anak merupakan usia yang rentan terhadap efek sekunder Coronavirus Disease-19 (COVID-19). Pasien usia anak yang berkunjung ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) mengalami penurunan pada saat awal pandemi COVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk menyoroti dampak pandemi COVID-19 terhadap kunjungan pasien anak di IGD, mengetahui tingkat kasus rawat inap, serta memberikan gambaran dan perbandingan sebaran kasus di IGD RSUD Soedono Madiun selama trimester terakhir tahun 2020 dan 2021. Studi ini merupakan penelitian retrospektif dengan pendekatan analitik observasional, menggunakan data sekunder yang didapat dari kunjungan pasien anak ke IGD RSUD Soedono Madiun pada bulan Oktober-Desember 2020 dan Oktober-Desember 2021. Perbandingan kunjungan pasien anak di IGD diuji dengan Mann-Witney U Test. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05) pada jumlah kunjungan pasien anak dan terdapat penurunan proporsi pasien rawat inap (4,5%; p = 0,04) serta peningkatan proporsi pasien pulang (5,1%; p = 0,04). Studi ini menyimpulkan bahwa COVID-19 berdampak pada fluktuasi jumlah kunjungan pasien anak di IGD RSUD Soedono Madiun.
PERBEDAAN GAMBARAN PEMERIKSAAN DARAH LENGKAP PRE DAN PASCA TERAPI TUBERKULOSIS FASE INTENSIF PADA PEDIATRI Iskandar, Agustin; Olivianto, Ery; Syahfitri, Rininta; Maisaroh, Luluk; Ludytajati, Ferine; Aprilia, Andrea
Majalah Kesehatan Vol. 11 No. 1 (2024): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/majalahkesehatan.2024.011.01.4

Abstract

Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit kronis yang banyak ditemui di Indonesia. Terapi yang diperlukan untuk mengeradikasi bakteri penyebab TBC (Mycobacterium tuberculosis) membutuhkan waktu setidaknya 6 bulan, yaitu 2 bulan fase intensif diikuti 4 bulan fase lanjutan. Selama ini, monitoring hasil terapi dilakukan setelah fase intensif dengan melakukan pemeriksaan mikrobiologis. Namun, pemeriksaan mikrobiologis kurang sensitif dan lebih sulit dilakukan khususnya pada anak sehingga diperlukan pemeriksaan lain yang lebih sederhana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil hematologi yaitu profil eritrosit, leukosit, dan trombosit pre dan pasca terapi fase intensif obat antituberkulosis pada anak. Penelitian observasional analitik berdesain kohort prospektif dilakukan terhadap 90 pasien anak. dengan TBC paru maupun ekstra paru di Poli Kesehatan Anak RSUD dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang pada Februari hingga Desember 2018. Hasil penelitian menggambarkan bahwa pada pasca terapi, jumlah leukosit (p = 0,036), neutrofil (p = 0,020), trombosit (p = 0,008), dan PCT (p = 0,015) lebih rendah namun jumlah limfosit (p = 0,037) lebih tinggi; sedangkan monosit, hemoglobin, indeks eritrosit, RDW, dan MPV tidak berbeda bermakna. Sekalipun demikian, jumlah leukosit, neutrofil, trombosit, plateletcrit (PCT) yang menurun serta jumlah limfosit yang lebih tinggi tidak berkorelasi dengan respons terapi pada TBC anak. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat penurunan leukosit, neutrofil, trombosit, PCT, dan peningkatan limfosit akan tetapi tidak berhubungan dengan respons pengobatan.
EFEK PEMBERIAN THYMOQUINONE TERHADAP JUMLAH SEL MAKROFAG PADA PARU TIKUS YANG DIINFEKSI BAKTERI Mycobacterium tuberculosis Angelina, Aina; Iskandar, Agustin; Rambe, Annisa Fadhila Aurelia; Kusuma, Ihda Dian; Dewi, Rose Khasana; Olivianto, Ery
Majalah Kesehatan Vol. 11 No. 3 (2024): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/majalahkesehatan.2024.011.03.1

Abstract

Penyakit tuberkulosis merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di dunia. Hal ini karena  banyaknya kasus resistensi OAT. Imunomodulator dapat meningkatan sistem imun dan membantu pengobatan tuberkulosis. Thymoquinone adalah salah satu komponen aktif dari jintan hitam yang dapat digunakan sebagai imunomodulator. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek thymoquinone terhadap jumlah sel makrofag pada paru tikus (Rattus norvegicus) model tuberkulosis yang diamati secara mikroskopis. Tikus dibagi menjadi sepuluh kelompok yaitu lima kelompok perlakuan 14 hari dan lima kelompok perlakuan 21 hari. Tikus diinokulasi oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis  secara intra-trakeal. Thymoquinone diberikan per oral pada kelompok perlakuan dengan tiga dosis berbeda (25 µg/kgBB, 50 µg/kgBB, dan 75 µg/kgBB).  Pengamatan jumlah sel makrofag dilakukan dengan pulasan imunohistokimia menggunakan antibodi CD68. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian thymoquinone pada dosis 50 µg/kgBB dapat meningkatkan jumlah sel makrofag pada paru tikus model TB. Hasil analisis oneway ANOVA menunjukkan perbedaan signifikan pada kelompok perlakuan 21 hari (p =  0,007;α < 0,05) sedangkan pada kelompok perlakuan 14 hari tidak didapatkan perbedaan signifikan. Kesimpulan penelitian ini ialah pemberian thymoquinone selama 21 hari dapat meningkatkan jumlah sel makrofag pada paru tikus yang diinokulasi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
A comparison of test duration for the clinical diagnosis of pediatric tuberculosis using Tuberculin Skin Test (TST) and Interferon Gamma Release Assays (IGRA) Olivianto, Ery; Iskandar, Agustin; Akmaly, Triyana Dian Dhuha; Mirza, Sarah Zoraya; Jahono, Maxie Felix
Pediatric Sciences Journal Vol. 6 No. 1 (2025): Available online : 1 June 2025
Publisher : Medical Faculty of Brawijaya University, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51559/pedscij.v6i1.118

Abstract

Background: Tuberculosis (TB) remains a major global health challenge, particularly among children. Diagnosing pediatric TB is complicated due to nonspecific symptoms and the difficulty of obtaining sputum samples for microbiological confirmation. Immunological tests, such as the tuberculin skin test (TST) and interferon-gamma release assays (IGRAs), are commonly used to support diagnosis. However, TST has several limitations, including the need for multiple patient visits and potential cross-reactivity with Bacillus Calmette-Guérin (BCG) vaccination. This study aimed to compare the efficiency of IGRA and TST in terms of turnaround time and patient compliance. Methods: A diagnostic time comparison study was conducted in pediatric patients with suspected pulmonary or extrapulmonary TB at Saiful Anwar Hospital, Malang. Patients underwent both TST and IGRA testing. The time required to obtain results and patient compliance was recorded and analyzed. o Results: A total of 94 pediatric patients were included, with 17 diagnosed with extrapulmonary TB and 77 with pulmonary TB. IGRA demonstrated a significantly shorter turnaround time (25.43 ± 6.31 hours for pulmonary TB, and 25.58 ± 6.37 hours for extrapulmonary TB) compared to TST (50.16 ± 6,93 hours for extrapulmonary TB and 50.34 ± 7.16 hours for pulmonary TB). Additionally, IGRA provided higher positivity rates in both pulmonary and extrapulmonary TB cases. Conclusion: IGRA offers a faster and more convenient alternative to TST for diagnosing pediatric TB. Despite its higher cost, the efficiency and single-visit requirement of IGRA makes it a preferable diagnostic tool in clinical settings, especially for children suspected of having TB.