Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

PEMAKZULAN KEPALA DAERAH YANG MELAKUKAN NIKAH SIRI BERDASARKAN PASAL 67B UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Budimansyah, Budimansyah
JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32501/jhmb.v2i1.19

Abstract

Kepala daerah merupakan pemimpin di daerah baik pada tataran pemerintah Kabupaten/Kota atau Provinsi. Sebagai pemimpin di daerah sepatutnya dalam setiap tindak tanduk dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari harus mencerminkan bahwa ia seorang pemimpin di daerah yang menjadi panutan dan pemberi contoh yang baik bagi masyarakat yang dipimpinnya. Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat fitrah baik dipandang dari sisi agama, negara maupun hak asasi manusia (HAM). Setiap warga  negara maupun pejabat berhak untuk menikah kapan dan dengan siapa saja sesuai dengan pilihannya masing-masing, termasuk dalam melakukan nikah siri dan poligami. Aturan agama memberikan ruang untuk umatnya dalam melangsungkan nikah siri dan poligami sepanjang syarat dan rukunnya terpenuhi sehingga apabila syarat dan rukunnya terpenuhi maka dalam pandangan agama pernikahan tersebut adalah pernikahan yang sah hukumnya. Kebebasan dalam melakukan nikah siri yang disandarkan pada syarat dan rukun yang diatur oleh agama dalam kenyataannya berbeda dengan regulasi yang diatur oleh negara. Dalam pandangan agama, nikah siri adalah sah apabila memenuhi syarat dan rukun perkawinan, namun dalam hukum negara yaitu Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (undang-undang perkawinan) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu dengan mendaftarkan setiap perkawinan agar dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Persoalannya menjadi dilematis ketika yang melakukan nikah siri adalah seorang kepala daerah karena melakukan suatu perbuatan yang tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemakzulan kepala daerah yang melakukan nikah siri berdasarkan Pasal 67B Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana pemakzulan kepala daerah yang melakukan nikah siri berdasarkan Pasal 67B Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian normatif karena menggunakan data sekunder atau data kepustakaan yaitu buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, dengan metode pengolahan data adalah dengan menggunakan metode kualitatif dan analisis data bersifat deduktif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa seorang kepala daerah yang melakukan nikah siri telah melanggar ketentuan Pasal 67B Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas jabatannya kepala daerah harus mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan, sehingga dapat dilakukan pemakzulan karena telah melanggar sumpah jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan melibatkan 3 (tiga) lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Mahakamah Agung dan Presiden.
REKONSTRUKSI DARI PENEGAKAN UNDANG-UNDANG MENUJU PENEGAKAN HUKUM DEMI KEADILAN YANG SUBSTANTIF Budimansyah, Budimansyah
JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI Vol 1, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32501/jhmb.v1i2.14

Abstract

Hukum pidana diciptakan dengan sifatnya yang senantiasa mengatur dan memberikan sanksi bagi siapa saja yang melanggar dan fungsi hukum pidana adalah sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Tujuan dari hukum adalah keadilan hukum (filosofis), kepastian hukum (yuridis) dan kemanfaatan hukum (sosiologis), ketiga tujuan hukum tersebut harus dapat berjalan beriringan sehingga dapat dicapai dalam muara penegakan hukumnya, yaitu bahwa dalam setiap proses penegakan hukum baik pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan dan di dalam putusan hakim haruslah mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang merupakan tujuan dari hukum itu sendiri, akan tetapi dilema muncul kemudian ketika ketiga tujuan hukum itu saling berbenturan maka yang dikedepankan adalah tujuan dari hukum berupa kemanfaatan hukum. Penegakan hukum pidana haruslah dilakukan dengan ilmu hukum, tafsir terhadap pasal-pasal pidana terlebih dalam tataran penerapan pasal-pasal tersebut di dalam teori dan praktek tidaklah bisa dilakukan dengan melihat bahwa masalah hukum pidana adalah masalah hitam putih pasal saja, melainkan harus melihat lebih jauh dan mendalam. Penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan paradigma legal positivistik dengan sifat kekakuan karena tujuan dari hukum pidana adalah tujuan untuk mendapatkan kebenaran materiel atau kebenaran sesungguhnya dari sebuah peristiwa pidana. Apabila penegakan hukum dilakukan dengan sifat kekakuan dengan melihat masalah pidana hanyalah masalah hitam putih pasal saja maka kemudian keadilan yang didapat pada akhirnya adalah keadilan prosedural bukan keadilan substanstif. Penegakan hukum berbeda dengan penegakan undang-undang, dan tugas dari aparat penegak hukum  adalah  menegakkan hukum bukan menegakkan undang-undang semata karena apabila penegakan undang-undang yang dilakukan maka keadilan yang didapat adalah keadilan formal prosedural sementara jika penegakan hukum yang dilakukan maka muara yang didapat adalah keadilan substansial. Aparat penegak hukum harus berani keluar dari paham dan cara berhukum positvistik, karena tugas aparat penegak bukan hanya menegakkan undang-undang semata tetapi juga menegakkan hukum, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan yaitu UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam undang-undang tersebut terlihat jelas dan tegas ada pemisahan antara hukum dan peraturan perundang-undangan dan tugas aparat penegak hukum  adalah  menegakkan hukum bukan undang-undang semata serta kewajiban hakim untuk menggali dan memahami rasa keadilan yang hidup di masyarakat yang bersumber dari hukum tidak tertulis.
EVALUASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUBU RAYA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM KABUPATEN KUBU RAYA Martono, Joko; Purba, Charlyna S; Budimansyah, Budimansyah
JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI Vol 1, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32501/jhmb.v1i2.9

Abstract

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kubu Raya telah berlaku kurang lebih 6 (enam) tahun. Dan sementara itu, hingga saat ini landasan yuridis pembentukan Peraturan Daerah Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kubu Raya ini telah mengalami beberapa perubahan mengikuti kondisi masyarakat yang dinamis dan perkembangan ketatanegaraan. Sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 5 Tahun 2011 tentang  Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kubu Raya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis urgensi revisi Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 5 Tahun 2011 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kubu Raya. Melalui metode penelitian yuridis normatif, diketahui bahwa lembaga pembentuk produk hukum daerah di Kabupaten Kubu Raya perlu untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 5 Tahun 2011 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kubu Raya guna mengikuti perkembangan masyarakat dan ketatanegaran yang dinamis.
TINJAUAN TERHADAP PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI PONTIANAK Budimansyah, Budimansyah
JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI Vol 1, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32501/jhmb.v1i1.6

Abstract

Setiap warga Negara haruslah diperlakukan sama di hadapan hukum tanpa memandang apapun latar belakangnya. Hukum haruslah ditegakkan walaupun esok bumi runtuh itulah adagium di dalam hukum. Selama ini realitas sosial dan hukum membuktikan bahwa masyarakat miskin dan tindak mampu masih termajinalkan secara sosial, hukum dan kultural. Mereka yang notabene sebagian besar masyarakat Indonesia ketika berhadapan dengan hukum selalu enggan untuk membayar Advokat dengan alasan biaya atau honorarium yang terlalu mahal. Beberapa undang-undang seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum memberikan proteksi dan jaminan kepada masyarakat miskin dan tidak mampu yaitu kewajibkan bagi aparat penegak hukum untuk menunjuk Advokat atau Penasehat Hukumm bagi masyarakat miskin dan tidak mampu secara cuma-cuma serta hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari organisasi bantuan hukum (OBH) secara cuma-cuma. Bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat miskin dan tidak mampu dalam pelaksanaannya ternyata tidaklah maksimal dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, hal tersebut dikarenakan aparat penegak hukum baik pada saat penyidikan, penuntutan dan pengadilan terkadang mengabaikan hak-hak Tersangka/Terdakwa, yaitu bahwa aparat penegak hukum sebelumnya tidak memberitahukan mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki Tersangka dan Terdakwa. Persoalan lainnya terkait dengan bantuan hukum cuma-cuma adalah pergulatan antara cita ideal dan fakta di lapangan bahwasanya setiap advokasi yang dilakukan haruslah menggunakan biaya yang tidak sedikit apalagi jika advokasi di luar kota yang memiliki jarak tempuh begitu jauh, sehingga bantuan hukum cuma-cuma akan selalu menjadi dilema dalam pelaksanaannya.
TINJAUAN TERHADAP KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) Budimansyah, Budimansyah
JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32501/jhmb.v2i2.28

Abstract

Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945, dimana salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus hasil pemilihan umum. Penyelenggaraan pemilihan umum berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dilakukan dalam rangka memilih anggota DPR-RI, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah. Pengaturan yang sumir terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus hasil pemilihan umum menjadi persoalan karena pemilihan umum berdasarkan rezim pengaturannya dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pemilihan umum pada rezim pertama yaitu pemilihan umum dalam rangka memilih DPR-RI, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 dan pemilihan umum pada rezim kedua dalam rangka memilih kepala daerah 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Pembagian rezim pemilihan umum dan pengaturan yang sumir terhadap kewenangan memutus hasil pemilihan umum berdampak pada apakah Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili semua rezim Pemilu atau hanya Pemilu pada rezim pertama saja. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian normatif karena menggunakan data sekunder atau data kepustakaan yaitu buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, dengan metode pengolahan data adalah dengan menggunakan metode kualitatif dan analisis data bersifat deduktif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada).
KEABSAHAN STATUS HUKUM PERKAWINAN POLIGAMI TANPA IZIN PENGADILAN AGAMA Budimansyah, Budimansyah; Arabiyah, Syarifah
JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32501/jhmb.v2i2.29

Abstract

Perkawinan poligami adalah perkawinan antara seoarang laki-laki yang pada saat bersamaan melakukan perkawinan atau melangsungkan hubungan perkawinan dengan beberapa orang wanita. Berbeda dengan perkawinan poliandri yang status hukumnya dinyatakan dilarang dan terlarang baik menurut hukum Islam maupun hukum positif, perkawinan poligami berada dalam dualisme pengaturan yaitu menurut hukum Islam dan menurut hukum positif yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana keabsahan status hukum perkawinan poligami tanpa izin pengadilan agama. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kemudian memberikan penilaian (preskriptif) terhadap keabsahan status hukum perkawinan poligami yang dilakukan tanpa izin pengadilan agama. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian normatif karena menggunakan data sekunder atau data kepustakaan yaitu buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, dengan metode pengolahan data adalah dengan menggunakan metode kualitatif dan analisis data bersifat deduktif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa perkawinan poligami yang dilakukan tanpa izin pengadilan agama adalah perkawinan yang sah menurut hukum Islam akan tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum menurut hukum positif. Hal tersebut didasarkan pada peraturan peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa untuk melakukan perkawinan poligami seorang suami harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada pengadilan agama dan pengadilan agama hanya memberi izin kepada suami yang akan melakukan poligami jika isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
MODEL PENYELESAIAN CAROK BERDASARKAN CARA BERHUKUM ORANG MADURA Budimansyah, Budimansyah
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 2, No 2 (2018): VOLUME 2 ISSUE 2, JULY 2018
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (709.722 KB) | DOI: 10.26418/tlj.v2i2.33755

Abstract

Carok is a social reality for the Madurese whose existence is still recognized today. The essence of Carok is more closely related to Madurese cultural values, where Carok is based on the fact that the Madurese have experienced the so-called "Malo", this feeling is caused by the Madurese feeling that their self-esteem is being harassed so as to defend the abused self-esteem then the Madurese do Carok. Law enforcement on Carok can not only be done with a positivistic approach with the nature of rigidity and see that Carok is a black and white subject matter as set forth in the Criminal Code (Criminal Code), if Carok is solved only through criminal law mechanism then no wonder then when the Carok-Carok takes place, the way through the penal law can never touch the nature of Carok, why the Madurese do Carok, and what Carok means and the defense of self-esteem for the Madurese. This research is a normative legal research, the data source used in this study is in the form of secondary data, namely books, journals, legislation, documents and other writings relating to the problem being studied. This study aims to find the law in concreto that is an attempt to find out whether the law that is suitable to be implemented in reality is carried out or obeyed by the community in relation to the settlement of Carok, the data processing method is to use qualitative methods and data analysis is deductive. Based on the results of the study, it is known that the Carok settlement model is based on the way of judging Madurese is different from the settlement model provided by the law of the country where the way of judging Madurese is a cultural approach so that Carok as a problem that comes from culture can be resolved and muted, then the presence of criminal law as the last effort (ultimum remedium) is deemed necessary after it is first settled based on how to enact the Madurese.
Dampak Penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Pada Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Pandemi Covid-19: Tinjauan Ekonomi Islam Khavid Normasyhuri; Budimansyah Budimansyah; Eko Triyadi
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam Vol 8, No 1 (2022): JIEI : Vol. 8, No. 1, 2022
Publisher : ITB AAS INDONESIA Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29040/jiei.v8i1.4619

Abstract

Covid-19 has a very wide impact throughout the world and even Indonesia and has caused an economic crisis and caused Indonesia's economic growth to experience shocks. In order to create an increase in Indonesia's economic growth in the era of the Covid-19 pandemic, the government, as the leading economic sector, utilizes several sources of financing, some of which are Government Securities (SUN) and State Sharia Securities (SBSN). But on the other hand, this can actually lead to a debt burden and debt interest that will burden the government budget and ultimately hamper Indonesia's economic growth during the Covid-19 pandemic era. This research includes quantitative research with associative approach. The data used uses secondary data from the official website of Bank Indonesia (BI) which is then tested using the statistical tool Eviews Version 9. The study was conducted in Indonesia with the aim of seeing the impact of the issuance of Government Securities (SUN) and State Sharia Securities (SBSN). On Indonesia's Economic Growth in the Era of the Covid-19 Pandemic In An Islamic Economic Review. The results showed that the issuance of Government Securities (SUN) had a negative and insignificant effect on Indonesia's Economic Growth in the era of the covid-19 pandemic. In the view of Islamic economics, Government Securities (SUN) violate the principle of la tazhlimuna wa la Tuzhlamun, namely oppressing and being wronged. This includes because the State abuses itself and oppresses investors because the returns used in Government Securities (SUN) use interest that is usurious and the absence of basic assets. Then the issuance of State Sharia Securities (SBSN) has a positive and significant impact on Indonesia's Economic Growth in the era of the Covid-19 pandemic. In a review of Islamic economics, State Sharia Securities (SBSN) stand on the basis of cooperation (musharaka) in funding a development or it can also be said as an investment business.
Government's Role in Empowerment Industrial Community Based on Creative Economy in Lampung Province in Islamic Economic Perspective Budimansyah Budimansyah; diah mukminatul hasimi
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam Vol 8, No 1 (2022): JIEI : Vol. 8, No. 1, 2022
Publisher : ITB AAS INDONESIA Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29040/jiei.v8i1.4301

Abstract

The formulation of the problem in this research are (1) What is the role of the government in empowering the creative economy-based industrial community in Lampung Province, (2) What is the form of government efforts in empowering the creative economy-based industry community in Lampung Province, (3) What is the government's role in community empowerment creative economy-based industry in Lampung Province in the perspective of Islamic economics?.The aims of this study are (1) to determine the role of the government in empowering the creative economy-based industrial community in Lampung Province, (2) to find out how the government's efforts are in empowering the creative economy-based industry community in Lampung Province, (3) to find out how the role of the government is in empowering the creative economy-based industry in Lampung Province. government in empowering the creative economy-based industrial community in Lampung Province in the perspective of Islamic economic. This research is a qualitative research with data collection techniques of observation, in-depth interviews and documentation. Informants in this study are local governments and creative economic entrepreneurs. The data used are primary and secondary data obtained from observations and from the archives of the relevant Department. Based on the results of the study, it can be concluded that the government of the Lampung Province has carried out Creative Economy empowerment activities in several stages; increasing awareness and capacity training, providing assistance, marketing (promotions) and capital loans. These activities are going well, but what happens in the field of related agencies is very lack of supervision, causes problems among business groups. The Islamic economic perspective in the implementation of creative economic empowerment is that there is injustice in the distribution of aid. This is not in accordance with the principles of Islamic economics, distribution justice.The conclusion of this study is that the empowerment of the creative economy is good enough, but the government’s supervision in the distribution of aid is very lack. It causies social jealousy among group members which is not in accordance with the principles of Islamic economic.
Strategi Pengelolaan Zakat, Infaq dan Sedekah (ZIS) Terhadap Pemberdayaan Ekonomi Umat Dalam Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Pada Masa Covid-19 Khavid Normasyhuri; Budimansyah Budimansyah; Ekid Rohadi
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam Vol 8, No 2 (2022): JIEI
Publisher : ITB AAS INDONESIA Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29040/jiei.v8i2.5793

Abstract

The purpose of this study was to determine the management and strategy for the management of Zakat, Infaq and Sedekah (ZIS) at the Nurul Iman Institute of Zakat, Infaq and Sedekah (ZIS) (LAZIS) in Lampung Province towards the economic empowerment of the people, especially in achieving the first program of Sustainable Development Goals (SDGs), namely poverty in rural areas. the time of the covid-19 pandemic. The method used is qualitative with a field research approach and is descriptive analysis. The research was conducted at the Nurul Iman Zakat, Infaq and Sedekah (ZIS) Institute (LAZIS) in Lampung Province. The results of the study indicate that the process of managing, distributing and utilizing Zakat, Infaq and Sedekah (ZIS) carried out by the Nurul Iman Institute of Zakat, Infaq and Sedekah (ZIS) (LAZIS) of Lampung Province from the stage of collecting Zakat, Infaq and Sedekah (ZIS) has been very effective with taking advantage of current digitalization, even the amount of zakat that has been collected continues to increase from year to year. Then Zakat, Infaq and Sedekah (ZIS) are very good because they choose which zakat is consumptive and productive so that the zakat funds distributed can be efficient and effective. Then the utilization of Zakat, Infaq and Sedekah (ZIS) is very appropriate where the productive zakat given makes zakat funds as capital for Small and Medium Enterprise (SME) with the aim of encouraging mustahiq (zakat recipients) to be able to have independent businesses in changing their living conditions in Indonesia. the current covid-19 period. Then the management strategy of Zakat, Infaq and Sedekah (ZIS) through the development and capital assistance of Small and Medium Enterprise (SME) has been very good with indicators of changes or increases in income from mustahiq who receive productive zakat funds.