Praktik gadai telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Kabupaten Aceh Tenggara. Umumnya, rahin menggadaikan benda atau tanahnya kepada murtahin sebagai jaminan pinjaman hingga hutangnya lunas. Namun, dalam praktiknya, ditemukan kasus di mana rahin kembali menggadaikan objek yang sama kepada pihak lain tanpa sepengetahuan atau izin dari murtahin karena alasan mendesak. Padahal, tidak ada kesepakatan dalam perjanjian awal yang membolehkan penggadaian ulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik menggadaikan kembali di Kabupaten Aceh Tenggara serta bagaimana Tinjauan Hukum Islam terkait objek gadai yang digadaikan kembali. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris,yaitu dengan mengkaji hukum sebagai gejala sosial di masyarakat. Pendekatan yang digunakan yaitu living case study, statute approach and conceptual approach. Pendekatan konseptual, untuk memahami prinsip gadai dalam Hukum Islam serta pendekatan empiris, dengan menggali data melalui wawancara dan dokumentasi di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik gadai kembali di Kabupaten Aceh Tenggara melibatkan marhun (barang jaminan) dan marhun bih (utang/pinjaman) sesuai kebutuhan para pihak adalah hal umum dan terjadi karena kebutuhan ekonomi masyarakat. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik gadai tanah yang digadaikan kembali yang ada di Kabupaten Aceh Tenggara tidak dibenarkan dalam hukum Islam apabila tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Menurut ulama Klasik dan kontemporer, KHES, Fatwa DSN MUI, bahwa rahin tidak berhak memanfaatkan barang jaminan tersebut kecuali atas seizin dari murtahin.