Abstract Airplane accidents not only cause physical harm but also profound psychological trauma for surviving passengers. However, the legal framework in Indonesia governing airline liability for passenger psychological trauma remains very weak because existing regulations and jurisprudence tend to focus more on physical losses such as death, disability, or injury, and do not explicitly mention psychological trauma as a form of compensation. This study aims to analyze the legal framework governing airline liability for passenger psychological trauma and identify the limitations of such legal liability. This study uses a normative juridical method with a statutory, case-based, and conceptual approach. The analysis shows that the regulation of liability for passenger psychological trauma in Indonesia is limited by the difficulty in proving a causal relationship between accident incidents and psychological trauma due to its immaterial nature and inability to be precisely measured. In addition, there is no legal basis that regulates the amount of compensation in concrete terms, so that the assessment of compensation is very subjective and depends on the judge's discretion, while there are different legal interpretations between judges, which creates legal uncertainty and allows airlines to escape responsibility. The author recommends that the government create implementing government regulations for Law Number 1 of 2009 concerning aviation to classify the psychological trauma experienced by surviving passengers into passenger losses and must be borne by the carrier along with the criteria for proving causality so that there is legal certainty and is able to provide the best solution for all parties involved. Abstrak Kecelakaan pesawat terbang tidak hanya menimbulkan kerugian fisik, tetapi juga luka psikologis yang mendalam bagi para penumpang yang selamat. Meskipun demikian, kekuatan hukum di Indonesia yang mengatur tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap trauma psikologis penumpang masih sangat lemah. Hal ini dikarenakan regulasi dan yurisprudensi yang ada cenderung lebih fokus pada kerugian fisik seperti kematian, cacat tetap, atau luka-luka, dan tidak secara eksplisit menyebutkan trauma psikologis sebagai bentuk kerugian yang dapat dikompensasi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis kekuatan hukum yang mengatur tanggung jawab maskapai penerbangan atas trauma psikologis penumpang yang selamat, serta mengidentifikasi batasan-batasan yang ada dalam pertanggungjawaban hukum tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, dan konseptual. Hasil analisis penulis menunjukkan bahwa regulasi pertanggungjawaban atas trauma psikologis penumpang selamat di Indonesia masih terbatas oleh kesulitan dalam membuktikan hubungan kausalitas antara insiden kecelakaan dan trauma psikologis karena sifatnya yang immateriil dan tidak dapat diukur secara pasti. Selain itu, tidak adanya landasan hukum yang mengatur besaran ganti rugi secara konkret, sehingga penilaian ganti rugi menjadi sangat subjektif dan bergantung pada diskresi hakim sedangkan terdapat interpretasi hukum yang berbeda-beda antar hakim, yang menciptakan ketidakpastian hukum dan memungkinkan maskapai untuk lepas dari tanggung jawab. Untuk itu, penulis merekomendasikan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah pelaksana UU Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan agar mengklasifikasikan trauma psikologis yang dialami oleh penumpang selamat dalam kerugian penumpang dan harus ditanggung oleh pihak pengangkut beserta kriteria pembuktian kausalitasnya sehingga terdapat kepastian hukum dan mampu memberikan solusi terbaik seluruh pihak yang terlibat.