Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

KEKUATAN PUTUSAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR) TERHADAP PEMAKZULAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA Tasyukur Tasyukur; Muksalmina Muksalmina; Nabhani Yustisi
SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum Vol. 2 No. 1 (2023): SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum, Februari 2023
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi 45 Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/seikat.v2i1.391

Abstract

Dalam sejarah Indonesia sebanyak 2 (dua) kali terjadi pemakzulan presiden hal tersebut terjadi sebelum amandemen UUD 1945.  Namun, setelah amandemen UUD 1945 belum pernah terjadi pemakzulan presiden di Indonesia. Proses pemakzulan presiden di Indonesia sesudah amandemen  mempunyai 3 (tiga) tahap, pertama, dari DPR meminta putusan kepada MK atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden, kedua, MK memutuskan atas pendapat DPR, dan putusannya diserahkan kepada DPR, apabila dalam putusan MK bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dalam Pasal 7A UUD 1945, maka DPR melakukan sidang paripurna, untuk mengajukan kepada MPR, ketiga, MPR melakukan sidang paripurna setelah menerima usulan dari DPR, MPR melakukan rapat paripurna yang harus dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan mendapat persetujuan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Artinya bahwa MPR dalam memberikan putusan harus secara voting. Dengan demiki, terjadi konflik norma antara Pasal 1 ayat (3) dengan Pasal 7B UUD 1945, dikarenakan dalam hal ini kekuatan putusan hakim tidak mengikat, yang keputusan mengikat berada di MPR. Maka menarik untuk dikaji terkait kekuatan putusan MPR dalam hal pemakzulan presiden dan wakil presiden di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative. Hasil penelitian ini bahwa MPR mempunyai hak mutlak untuk memakzulkan presiden dan wakil presiden artinya bisa menganulir putusan MK, di saat tidak tercapai persetujuan 2/3 dari ¾ jumlah anggota yang dalam rapat dan presiden dan/atau wakil presiden tidak bisa dimakzulkan dimana MPR yang hadir dalam rapat tidak tercapai dari ¾ jumlah anggota MPR, artinya bahwa peranan politik MPR bisa mengalahkan putusan MK.
DINAMIKA KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Muksalmina Muksalmina; Tasyukur Tasyukur; Nabhani Yustisi
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.379

Abstract

DPD merupakan Dewan Perwakilan Daerah sebanyak 4 orang orang per provinsi yang dipilih langsung oleh rakyat dengan tujuan untuk memperjuangkan daerahnya dikancah nasional berbeda halnya dengan DPR yang memperjuangkan hak rakyat secara umum walaupun dalam system pemilihannya di daerah pemilihan tertentu. Dalam UUD 1945 kewenangan DPD soft becameralism bukan strong bicameralism dengan alasan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan bulan negara federal. Dengan demikian, menjadi dinamika terkait kelembagaan DPD pada dasarnya merupakan Lembaga legislative, tetapi fungsi legislative yang dimiliki oleh DPD dibatasi, kata lain DPD adalah pembantu DPR. Padahal kalua kita tinjau dari sudut kelembagaan negara kedudukan keduanya sama yaitu Lembaga tinggi negara. Dalam prakteknya DPR ingin melemahkan kedudukan DPD dengan cara mengeluarkan UU MD3 dikarenakan kewenangan penuh membuat UU berada ditangan DPR. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Hasil penelitian kedudukan DPD dalam system tata negara Indonesia harus diberikan kewenangan yang sama dengan DPR dalam hal legislasi karena DPD mempunyai peran yang lebih strategis dalam mewujudkan kepentingan daerah, dikarenakan disaat hak-hak daerah tidak terwujud akan terjadi wacana pemisahan diri dari negara kesatuan seperti yang pernah terjadi di beberapa provinsi dan tidak terjadi lagi diskriminasi yang dilakukan oleh DPR kepada DPD. Kemudian, peralihan hak membuat UU sebelum amandemen yang dilakukan oleh Presiden beralih ke DPR setelah amandemen, kedepannya dalam hal membuat UU juga harus dilibatkan DPD mulai dari rancangan hingga pengesahan, dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita dasar dalam pembentukan Lembaga DPD, disamping itu Lembaga DPD tidak diganggu oleh kepentingan politik manapun berbeda halnya dengan DPR, sehingga akan menghasilkan UU yang berkualitas.
DINAMIKA KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Muksalmina Muksalmina; Tasyukur Tasyukur; Nabhani Yustisi
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): Unes Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.379

Abstract

DPD merupakan Dewan Perwakilan Daerah sebanyak 4 orang orang per provinsi yang dipilih langsung oleh rakyat dengan tujuan untuk memperjuangkan daerahnya dikancah nasional berbeda halnya dengan DPR yang memperjuangkan hak rakyat secara umum walaupun dalam system pemilihannya di daerah pemilihan tertentu. Dalam UUD 1945 kewenangan DPD soft becameralism bukan strong bicameralism dengan alasan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan bulan negara federal. Dengan demikian, menjadi dinamika terkait kelembagaan DPD pada dasarnya merupakan Lembaga legislative, tetapi fungsi legislative yang dimiliki oleh DPD dibatasi, kata lain DPD adalah pembantu DPR. Padahal kalua kita tinjau dari sudut kelembagaan negara kedudukan keduanya sama yaitu Lembaga tinggi negara. Dalam prakteknya DPR ingin melemahkan kedudukan DPD dengan cara mengeluarkan UU MD3 dikarenakan kewenangan penuh membuat UU berada ditangan DPR. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Hasil penelitian kedudukan DPD dalam system tata negara Indonesia harus diberikan kewenangan yang sama dengan DPR dalam hal legislasi karena DPD mempunyai peran yang lebih strategis dalam mewujudkan kepentingan daerah, dikarenakan disaat hak-hak daerah tidak terwujud akan terjadi wacana pemisahan diri dari negara kesatuan seperti yang pernah terjadi di beberapa provinsi dan tidak terjadi lagi diskriminasi yang dilakukan oleh DPR kepada DPD. Kemudian, peralihan hak membuat UU sebelum amandemen yang dilakukan oleh Presiden beralih ke DPR setelah amandemen, kedepannya dalam hal membuat UU juga harus dilibatkan DPD mulai dari rancangan hingga pengesahan, dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita dasar dalam pembentukan Lembaga DPD, disamping itu Lembaga DPD tidak diganggu oleh kepentingan politik manapun berbeda halnya dengan DPR, sehingga akan menghasilkan UU yang berkualitas.
KEKUATAN PUTUSAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR) TERHADAP PEMAKZULAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA Tasyukur Tasyukur; Muksalmina Muksalmina; Nabhani Yustisi
SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum Vol. 2 No. 1 (2023): SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum, Februari 2023
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi 45 Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/seikat.v2i1.391

Abstract

Dalam sejarah Indonesia sebanyak 2 (dua) kali terjadi pemakzulan presiden hal tersebut terjadi sebelum amandemen UUD 1945.  Namun, setelah amandemen UUD 1945 belum pernah terjadi pemakzulan presiden di Indonesia. Proses pemakzulan presiden di Indonesia sesudah amandemen  mempunyai 3 (tiga) tahap, pertama, dari DPR meminta putusan kepada MK atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden, kedua, MK memutuskan atas pendapat DPR, dan putusannya diserahkan kepada DPR, apabila dalam putusan MK bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dalam Pasal 7A UUD 1945, maka DPR melakukan sidang paripurna, untuk mengajukan kepada MPR, ketiga, MPR melakukan sidang paripurna setelah menerima usulan dari DPR, MPR melakukan rapat paripurna yang harus dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan mendapat persetujuan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Artinya bahwa MPR dalam memberikan putusan harus secara voting. Dengan demiki, terjadi konflik norma antara Pasal 1 ayat (3) dengan Pasal 7B UUD 1945, dikarenakan dalam hal ini kekuatan putusan hakim tidak mengikat, yang keputusan mengikat berada di MPR. Maka menarik untuk dikaji terkait kekuatan putusan MPR dalam hal pemakzulan presiden dan wakil presiden di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative. Hasil penelitian ini bahwa MPR mempunyai hak mutlak untuk memakzulkan presiden dan wakil presiden artinya bisa menganulir putusan MK, di saat tidak tercapai persetujuan 2/3 dari ¾ jumlah anggota yang dalam rapat dan presiden dan/atau wakil presiden tidak bisa dimakzulkan dimana MPR yang hadir dalam rapat tidak tercapai dari ¾ jumlah anggota MPR, artinya bahwa peranan politik MPR bisa mengalahkan putusan MK.
Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Pelecehan Seksual (Studi Putusan Nomor: 8/JN/2021/Ms.Lsm)  Nabhani Yustisi
Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 1 (2024): Hak Asasi Manusia, Politik Uang, dan Hukum Jinayat
Publisher : LP3M Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Al-Banna

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70193/jurisprudensi.v1i01.06

Abstract

Indonesia adalah negara hukum dimana Indonesia menjunjung tinggi harkat dan martabat serta menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya. Aturan yang ada di Indonesia untuk melindungi anak-anak sudah banyak, baik aturan yang dari tingkat tinggi tingkat rendah walaupun di daerah Aceh juga masih beberapa yang tunfuk terhadap aturan pemerintah pusat. Akan tetapi dalam sehari-hari masih ada saja kejahatan yang mengakibatlan anak sebagai korban. Seperti yang terjadi di Kecamtan Banda Sakti Kota lhokseumawe, pelecehan seksual terjadi menjadikan seorang anak sebagai korban. Hal ini mendapat perhatian tersendiri bukan hanya kepada si pelaku tetapi juga bagi si korban akan perlindungan yang didapatkan selama kasus di adili. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara kasus pelecehan ini dan juga untuk mengetahui bagaimana saja bentuk perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban kejahatan pelecehan seksual. Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk perlindungan yang didapat oleh anak yang menjadi korban yakni pendampingan dari pihak keluarga selama dalam proses hukum untuk mengurangi rasa trauma dan takut korban terhadap pelaku, adapun perlindungan lainnya tidak tertulis dalam putusan yang menjadi dasar peneliti. Dalam memutuskan perkara dari kejahatan pelecehan seksual hakim mempertimbangkan asas keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.