Murti Andriastuti, Murti
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universiatas Indonesia/RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 20 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

Steroid response as prognostic factor and its correlation with molecular assessment of childhood acute lymphoblastic leukemia Andriastuti, Murti; Gatot, Djajadiman; Wirawan, Riadi; Setiabudy, Rianto; Mansyur, Muchtaruddin; Ugrasena, I Dewa G.
Medical Journal of Indonesia Vol 24, No 4 (2015): December
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (387.646 KB) | DOI: 10.13181/mji.v24i4.1177

Abstract

Background: Survival rate of children with acute lymphoblastic leukemia  (ALL) in Indonesia remains low. Risk stratification accuracy is important to improve survival. In developed countries, risk stratification is determined based on gene fusion that is known related to steroid resistency. Steroid response at day-8 correlates with prognosis. The assessment can be applied in centers that cannot perform molecular assessment. This study aims to evaluate whether steroid response correlated to molecular assessment. Methods: A cross-sectional study was performed at Child Health Department, Cipto Mangunkusumo Hospital (January 2013-March 2014), a total of 73 patients were enrolled. Steroid was given for 7 days. Peripheral blast count at day 8 was evaluated, good response if blast count <1000 /µL and poor if  ≥1000 /µL. Fusion gene detection was also performed. The data was analysed using Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 20.0.Results: Fusion gene was detected in 45 patients. In 1–10 years age group, 26/32 (81%) subjects had good response, while 75% in <1 year age group and 7/9 (78%) in ≥10 years age group had poor response. 5/7 (71%) subjetcs had leukocyte count >100,000 /µL and 7/8 (88%) with T-cell showed poor response. Age, leukocyte count, and T-cell were statistically correlated with steroid response (p<0.05). E2A-PBX1 fusion gene was the most common 19/45 (42%), followed by TEL-AML1 17/45 (38%), BCR-ABL 5/45 (17%), and MLL-AF4 1/45 (3%). Four of five subjects (80%) with BCR-ABL and one subject with MLL-AF4 had poor steroid response. On the other hand, 12/19 (63%) with E2A-PBX1 and 13/17 (77%) with TEL-AML1 had good response. There was no correlation between steroid response and molecular assessment.Conclusion: Steroid response correlates with age, leukocyte count, and T-cell  but  not with molecular assessment.
Kebutuhan Transfusi Darah Pasca-Splenektomi pada Thalassemia Mayor Murti Andriastuti; Teny Tjitra Sari; Pustika Amalia Wahidiyat; Siti Ayu Putriasih
Sari Pediatri Vol 13, No 4 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp13.4.2011.244-9

Abstract

Latar belakang. Transfusi darah merupakan pengobatan satu-satunya bagi pasien thalassemia guna mempertahankan kadar hemoglobin darah. Salah satu cara mengurangi kebutuhan darah adalah dengan melakukan splenektomi. Tujuan.Membandingkan kebutuhan transfusi pra-splenektomi dan pasca-splenektomi. Metode. Studi deskriptif terhadap pasien thalassemia βdan thalassemia-β/HbE yang dilakukan splenektomi di Pusat Thalassemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo tahun 2006-2009. Data yang dikumpulkan adalah kadar Hb pra-transfusi, jumlah kebutuhan darah, dan frekuensi transfusi darah dalam rentang setahun sebelum dan setahun setelah splenektomi, serta indikasi splenektomi. Didapat 98 pasien pasca- splenektomi tetapi 3 pasien dikeluarkan karena data tidak lengkap. Hasil. Subjek penelitian 98 pasien pasca- splenektomi terdiri 47 lelaki dan 51 perempuan. Rerata jarak waktu pertama kali transfusi darah sampai dilakukan splenektomi adalah 10 (SB 5,0) tahun, kisaran 8 bulan-23 tahun. Rerata ukuran limpa saat splenektomi adalah SchufnerVI, kisaran SchufnerII-VIII. Terjadi peningkatan rerata Hb pra-transfusi pra-splenektomi sebesar 6,2 (SB 0,9) g/dL, rentang 4,4-8,6 g/dL, pasca-splenektomi meningkat menjadi 7,9 (SB 0,8) g/dL, kisaran 5,6-10 g/dL. Rerata jumlah kebutuhan transfusi darah pra-splenektomi sebesar 357,2 (SB 101,2) mL/kgBB/tahun, pasca-splenektomi menurun menjadi 131,1 (SB 57,5) mL/kgBB/tahun. Rerata frekuensi transfusi darah pra-splenektomi 15 (SB 3,7) kali per tahun, kisaran 6-24 kali per tahun, pasca-splenektomi menjadi 8 (SB 3) kali per tahun, kisaran 0-14 kali per tahun. Indikasi splenektomi adalah hipersplenisme dini (53 subjek) dan hipersplenisme lanjut (45 subjek). Rerata Hb pra-transfusi pasca-splenektomi subjek hipersplenisme dini (8,3 g/dL) lebih tinggi dibandingkan subjek hipersplenisme lanjut (7,6 g/dL) (p=0,000). Terdapat perbedaan bermakna jumlah kebutuhan darah pasca-splenektomi thalassemia-β/HbE (108,6 mL/kgBB/tahun) dan thalassemia-β(144,1 mL/kgBB/tahun) (p=0,001). Frekuensi transfusi darah thalassemia-β/HbE pasca-splenektomi (7x/tahun) lebih rendah daripada thalassemia-β(9x/tahun) (p=0,011). Tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna antara rerata Hb pra-transfusi pasca-splenektomi antara thalassemia-βdengan thalassemia-β/HbE (p=0,132).Kesimpulan.Terdapat perbedaan kebutuhan transfusi antara pra-splenektomi dan pasca splenektomi berdasarkan jenis hipersplenisme dan genotip pasien. Kebutuhan transfusi pasca splenektomi lebih sedikit apabila splenektomi dianjurkan pada keadaan hipersplenisme dini dan kasus thalassemia β/HbE
Angka Kejadian dan Faktor yang Memengaruhi Potensi Interaksi Obat dengan Obat pada Pasien Leukemia Akut Anak yang Menjalani Rawat Inap Sri Wulandah Fitriani; Rina Mutiara; Amarila Malik; Murti Andriastuti
Sari Pediatri Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (98.187 KB) | DOI: 10.14238/sp18.2.2016.129-36

Abstract

Latar belakang. Risiko terjadinya potensi interaksi obat dengan obat (PIOO) pada pasien leukemia akut akibat pemberian terapi multidrug cukup tinggi.Tujuan. Mengetahui angka kejadian dan faktor yang memengaruhi PIOO pada subjek penelitian.Metode. Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif terhadap pasien leukemia akut pada anak yang menjalani rawat inap di RSCM pada Januari – Desember 2014. Identifikasi PIOO dilakukan menggunakan perangkat lunak Micromedex Drug Reax®.Hasil. Didapat 96 subjek yang memenuhi kriteria penelitian. Subjek berpotensi mengalami PIOO 41,6% dengan tingkat keparahan kontraindikasi (4,70%), berat (60,70%), dan sedang (34,60%). Jenis PIOO paling sering adalah deksametason dan flukonazol yang berpotensi meningkatkan paparan glukokortikoid. Terdapat perbedaan bermakna pada faktor usia (p=0,037), lama hari rawat (p=0,000), dan rerata jumlah obat (p=0,000), sedangkan komorbiditas tidak menunjukkan perbedaan (p=0,082).Kesimpulan. Angka kejadian PIOO pasien leukemia akut pada anak yang menjalani rawat inap di RSCM adalah 41,6%. Faktor usia, lama hari rawat, dan rerata jumlah obat berpengaruh signifikan terhadap kejadian PIOO dengan nilai OR 1,8 terhadap pasien berusia >7 tahun, 6,3 terhadap pasien dengan lama hari rawat >7 hari, dan 5,3 terhadap pasien dengan rerata pemberian >4 obat perhari. Sari 
Efektivitas Terapi Akupunktur untuk Tata Laksana Adjuvan Nyeri Kanker Murti Andriastuti; Dini Astuti Mirasanti; Irma Nareswari
Sari Pediatri Vol 22, No 2 (2020)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp22.2.2020.115-22

Abstract

Latar belakang. Efektivitas terapi akupunktur untuk tatalaksana adjuvan nyeri kanker pada anak masih kontroversial. Tujuan. Melakukan telaah kritis untuk menilai efektivitas terapi akupunktur untuk tatalaksana adjuvan nyeri kanker pada anak. Metode. Penelusuran artikel dilakukan melalui database Pubmed dan Cochrane dengan menggunakan kata kunci yang sesuai pada bulan Desember 2019. Hasil. Terdapat tiga artikel yang berguna berupa satu penelitian kohort prospektif, satu penelitian uji klinis acak, dan satu meta analisis Pasien berusia remaja cenderung lebih dapat menerima terapi akupunktur sebagai tatalaksana adjuvant nyeri kanker. Pada uji klinis acak dan meta analisis, didapati bahwa pasien yang mendapat terapi akupunktur memiliki skor nyeri yang lebih rendah. Meskipun demikian, penelitian uji klinis acak dan meta analisis tersebut tidak mengikutsertakan pasien anak (usia kurang dari 18 tahun). Kesimpulan. Terapi akupunktur merupakan suatu modalitas tatalaksana adjuvan nyeri kanker yang cukup potensial, tetapi diperlukan penelitian lebih lanjut pada populasi anak guna membuktikan efektivitas terapi tersebut.
Laporan kasus berbasis bukti: Reaksi Hipersensitivitas Terhadap Pegylated Asparaginase Dibandingkan L-asparaginase pada Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut Miranti Fristy Medyatama; Murti Andriastuti
Sari Pediatri Vol 23, No 5 (2022)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.5.2022.336-45

Abstract

Latar belakang. L-asparaginase (L-asp) adalah regimen kemoterapi utama dalam terapi LLA pada anak. Kejadian reaksi hipersensitivitas akibat L-asp sangat tinggi, menyebabkan terapi tidak dapat dilanjutkan dan memengaruhi angka kesintasan. Dibutuhkan sediaan lain yang lebih hipoalergenik untuk dapat menggantikan L-asp.Tujuan. Melakukan telaah kritis untuk membandingkan reaksi hipersensitivitas dan efektivitas antara PEG-asp dan L-asp pada pasien anak dengan LLA.Metode. Pencarian artikel dilakukan secara daring menggunakan instrumen kata kunci yang sesuai melalui basis data Pubmed, Cochrane dan Google Scholar pada bulan Febaruari 2021.Hasil. Didapatkan 3 artikel berupa meta-analisis, uji klinis acak dan kohort retrospektif. Reaksi hipersensitivitas dengan L-asp adalah 30-41%, sedangkan dengan PEG-asp 13-14% (p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna terhadap angka remisi maupun angka kesintasan antara penggunaan PEG-asp dan L-asp (p>0,005). Kesimpulan. PEG-asp dapat menurunkan angka kejadian reaksi hipersensitivitas dan memiliki efektivitas yang sama dengan L-asp.
Perbandingan Respons Klinis dan Efek Samping Semprot Hidung Salin Isotonik (Air Laut) dengan Tetes Hidung Salin Isotonik pada Anak Balita dengan Common Cold Widodo Tirto; Nastiti Kaswandani; Murti Andriastuti
Sari Pediatri Vol 16, No 1 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp16.1.2014.64-70

Abstract

Latar belakang. Keunggulan semprot hidung salin isotonik air laut pada anak balita dengan common cold masih kontroversi, dan studi pada anak balita masih sedikit.Tujuan. Membandingkan respons klinis dan efek samping semprot hidung salin (air laut) dan tetes hidung salin pada pasien dengan common cold, melalui a) penurunan skor gejala hidung, b) penurunan skor suhu tubuh, c) lama sakit, dan d) efek samping (epistaksis).Metode. Suatu opened-label randomized clinical trial, dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Kalideres dengan subjek anak berusia 12-60 bulan. Subjek diberikan semprot hidung salin air laut dan sirup parasetamol (kelompok eksperimen) atau tetes hidung salin dan parasetamol (kelompok eksperimen) atau hanya parasetamol (kontrol) berdasarkan alokasi random. Semprot hidung salin (air laut) diberikan 3 kali sehari 1 semprot tiap lubang hidung selama 7 hari, tetes hidung salin diberikan 3 kali sehari 2 tetes tiap lubang hidung selama 7 hari, dan parasetamol sirup diberikan 10 mg/kgbb tiap 4 jam bila suhu tubuh ≥38ºC. Penilaian skor gejala hidung, skor suhu tubuh, dilakukan sebelum dimulai pengobatan sampai dengan hari ke delapan. Lama sakit dan efek samping obat dinilai dari awal pengobatan sampai sembuhHasil. Didapat 68 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dirandomisasi menjadi kelompok eksperimen (semprot hidung salin air laut dan tetes hidung salin) atau kontrol. Pada hari kedelapan pengobatan, tidak terdapat perbedaan bermakna pada penurunan skor gejala hidung (p=0,976), skor suhu tubuh (p=0,884), dan lama sakit (p=0,805) antara ketiga kelompok penelitian. Tidak didapatkan efek samping berupa epistaksis.Kesimpulan. Pada anak balita dengan common cold yang diberikan semprot hidung salin (air laut) dibandingkan dengan tetes hidung salin dan kontrol tidak terdapat perbedaan bermakna pada respons klinis dan efek samping.
Peran Reticulocyte Hemoglobin Content (Ret-He) dalam Mendeteksi Defisiensi Besi pada Anak Ika Maya Sandy; Murti Andriastuti
Sari Pediatri Vol 20, No 5 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (221.032 KB) | DOI: 10.14238/sp20.5.2019.316-23

Abstract

Latar belakang. Defiseinsi besi (DB) didefinisikan sebagai penurunan total kandungan besi dalam tubuh yang ditandai dengan turunnya kadar feritin atau saturasi transferin. Gangguan perkembangan neurokognitif yang timbul akibat DB bersifat permanen. Identifikasi adanya DB penting untuk memulai terapi besi untuk mencegah komplikasi jangka panjang.Tujuan. Mengetahui peran Ret-He dalam mendeteksi DB pada anak dibandingkan dengan pemeriksaan biomarker penanda status besi lain (feritin, saturasi transferin, kadar besi serum, dan total iron binding capacity (TIBC)).Metode. Penelusuran pustaka database elektronik, yaitu Pubmed, Cochrane, ProQuest dan Google scholar dengan kata kunci “iron deficiency”, “AND” “reticulocyte hemoglobin  content”, “AND” “children”.Hasil. Penelusuran literatur diperoleh 4 artikel yang terpilih kemudian dilakukan telaah kritis. Studi oleh Mateos dkk, dengan level of evidence 1c, diperoleh nilai cut-off: ≤ 25 pg, memiliki sensitivitas tertinggi dibanding studi lainnya, yaitu 94% dan spesifisitas 80%, NDP 54%, NDN 97%. Studi lain menentukan nilai cut-off yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan negatif.Kesimpulan. Berdasarkan penelitian ilmiah yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa Ret-He dapat digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi DB pada anak.
Efektivitas Transfusi Trombosit Hasil Uji Silang Serasi (Crossmatch) pada Kondisi Trombositopenia Refrakter Murti Andriastuti; Novie Amelia Chozie; Syahminar Rahmani
Sari Pediatri Vol 20, No 1 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp20.1.2018.50-7

Abstract

Latar belakang. Penyebab imun tersering trombositopenia refrakter adalah adanya antibodi terhadap human leukocyte antigens (HLA) dan atau human platelet antigens (HPA). Salah satu strategi untuk mengidentifikasi unit trombosit yang kompatibel untuk resipien adalah dengan uji silang serasi (crossmatching).Tujuan. Mengetahui efektivitas uji silang serasi sebagai tata laksana trombositopenia refrakter.Metode. Penelusuran literatur secara daring, digunakan instrumen pencari Pubmed, Cochrane, Clinical key, dan Google Scholar. Kata kunci yang digunakan adalah ”crossmatching”,”platelet transfusion”,“thrombocytopenia”, “refractory”, dan “efficacy”.Hasil. Terdapat 3 artikel yang relevan dengan masalah. Penelitian kohort terhadap 100 transfusi trombosit dengan uji silang serasi menunjukkan hasil rerata 24 jam jumlah trombosit pascatransfusi secara signifikan lebih tinggi pada kelompok kompatibel (9,250±026,6) daripada kelompok inkompatibel (6,757.94±2,656.5), p<0.0001. Penelitian kohort yang kedua juga menunjukkan perbedaan kenaikan jumlah trombosit pascatransfusi antara kelompok kompatibel dan inkompatibel bermakna secara signifikan (p=0,041). Pada penelitian kohort ketiga, transfusi trombosit inkompatibel terbukti meningkatkan risiko terjadinya respons kenaikan trombosit yang buruk pada 1 jam (OR: 5,38; 95% CI: 2,060-14,073; p<0,001), tetapi tidak pada 24 jam (OR: 1,400; CI: 0,572-3,434; p=0,46). Terdapat perbedaan bermakna antara jumlah absolut trombosit pada 1 jam dan 24 jam pascatransfusi trombosit (p<0,001). Kesimpulan. Transfusi trombosit hasil uji silang serasi yang kompatibel efektif diberikan pada pasien dengan kondisi trombositopenia refrakter.
Perbandingan Efektivitas dan Keamanan Kombinasi Ketamin/Midazolam Dibandingkan Ketamin Tunggal sebagai Sedasi pada Anak Murti Andriastuti; Dewi Kartika; Andi Ade WR
Sari Pediatri Vol 18, No 3 (2016)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp18.3.2016.240-4

Abstract

Latar belakang. Penambahan midazolam sebelum pemberian ketamin sebagai obat sedasi pada tindakan aspirasi sumsum tulang atau pemberian kemoterapi intratekal terbukti meningkatkan efektivitas sedasi, mengurangi ansietas dan mengurangi efek samping ketamin yaitu mimpi buruk, halusinasi, dan fenomena pulih sadar pasca pemberian ketamin.Tujuan. Membandingkan efektivitas dan keamanan sedasi antara kombinasi ketamin/midazolam dan ketamin tunggal berdasarkan bukti ilmiah.Metode. Penelusuran pustaka database elektronik melalui Pubmed, Clinical Key, dan Google Scholar.Hasil. Suatu uji klinis acak tersamar mendapatkan awitan sedasi secara signifikan lebih singkat pada kelompok ketamin/midazolam dibandingkan ketamin yaitu 2,6 menit dan 3,4 menit (nilai p= 0,01). Jumlah subjek yang mengalami amnesia total pada kelompok ketamin/midazolam dibandingkan ketamin yaitu 100% dan 80,3% (p=0,001). Kejadian mimpi buruk pada kelompok ketamin/midazolam dibandingkan ketamin 6,3% dan 19,6% (p=0,04). Lima uji kohort menunjukkan kombinasi ketamin/midazolam dapatmenjadi pilihan sedasi yang cepat, efektif, dan aman bagi anak yang akan menjalani berbagai tindakan di bidang hematologi-onkologi. Kombinasi ini aman dan efisien untuk mengurangi nyeri selama prosedur dan mengurangi kecemasan pasien dan orangtua.Kesimpulan. Berdasarkan penelitian ilmiah yang telah dipaparkan, penambahan midazolam pada ketamin tidak menambah efek samping, dan kombinasi ini lebih baik dibandingkan ketamin tunggal.
Angka Kejadian Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Pneumonia Marissa Tania Stephanie Pudjiadi; Mardjanis Said; Irawan Mangunatmadja; Hidra Irawan Satari; H F Wulandari; Murti Andriastuti
Sari Pediatri Vol 14, No 1 (2012)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (178.752 KB) | DOI: 10.14238/sp14.1.2012.52-6

Abstract

Latar belakang. Pneumonia merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan balita di negara berkembang. Sitokin pada pneumonia yang diproduksi akibat inflamasi paru secara berlebihan. Sehingga menyebabkan kaskade koagulasi sistemik teraktivasi yang berakhir pada trombosis sistemik yang akan menyebabkan keadaan kritis dan seringkali berakhir dengan kematian. Tujuan.Mengetahui profil koagulasi dan prevalensi koagulasi intravaskular diseminata (KID) pada pasien pneumonia yang dirawat inap.Metode. Studi deskriptif analitik dengan desain potong lintang dilakukan di ruang rawat Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM antara 1 Februari 2010 sampai 28 Februari 2011.Hasil. Tiga puluh enam persen subjek penelitian mengalami trombositopenia, 13,4% mengalami pemanjangan protombine time (PT), dan 19,6% mengalami penurunan kadar fibrinogen. Didapatkan 83,5% subjek penelitian memiliki kadar D-dimer yang tinggi dan 64,9% di antaranya meningkat sangat tinggi. Kejadian KID 17,5% subjek dan seluruhnya mengalami perdarahan. Pada 88,2% pasien KID mengalami trombositopenia dengan rasio prevalens 32,5 (95% IK 6,70-157,57).Kesimpulan. Profil koagulasi pasien pneumonia yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM 36% mengalami trombositopenia, pemanjangan PT 13,4%, penurunan kadar fibrinogen 19,6%, dan peningkatan kadar D-dimer 83,5% . Koagulasi intravaskular diseminata terjadi 17,5% (17/97) pasien pneumonia yang dirawat.