The tradition of khatam al-Qur’an in Minangkabau represents a synthesis of Islamic principles and indigenous customs, forming a unique cultural framework. Its manifestation varies distinctly between the Minangkabau heartland and its peripheral (rantau/Minangkabau migrants living outside their homeland) regions. On one hand, some practices lean heavily toward Islamic orthodoxy; on the other, they are steeped in customary traditions. Numerous studies have explored the tradition of khatam al-Qur’an in Indonesia, but those within the discourse of custom and Islam in Minangkabau has received relatively little scholarly attention. Therefore, this research seeks to explore the dialectic between Islam and adat (customs) in the celebration of khatam al-Qur’an whether the two remain irreconcilable, like oil and water, or harmoniously blend within the socio-religious life of the Minangkabau people. Employing a normative qualitative approach, this research positions Islam as the benchmark for evaluating the authenticity of khatam al-Qur’an as practiced across Minangkabau society. Data were gathered through fieldwork in both luhak (core regions) and rantau (diasporic extensions) of West Sumatra. The luhak such as Tanah Datar, Agam, and Lima Puluh Kota represent the cultural and historical epicenters of Minangkabau, while the rantau including Padang, Pasaman, and other peripheral areas signify its expansion. Insights were drawn from in-depth interviews with individuals directly involved in the khatam al-Qur’an festivities. Findings reveal that the tradition is observed across all Minangkabau territories. In the rantau, the ceremonies are generally modest and restrained. Conversely, in the core regions, especially Agam, Tanah Datar, and Lima Puluh Kota, the events are marked by grandeur and solemnity, sometimes at the expense of Islamic values—evident in practices such as the excessive makan bajamba (communal feasting) and parades that obstruct public roads. Khatam al-Qur'an ceremonies should be restructured into purposeful events that foster religious devotion and community unity, with active support from religious leaders, educators, and local authorities. Tradisi khatam al-Qur'an di Minangkabau merupakan perpaduan antara prinsip-prinsip Islam dan adat istiadat setempat, yang membentuk sebuah kerangka budaya yang unik. Manifestasinya sangat bervariasi antara daerah pusat Minangkabau dan daerah pinggirannya (rantau/perantau Minangkabau yang tinggal di luar kampung halamannya). Di satu sisi, beberapa praktiknya sangat condong pada ortodoksi Islam; di sisi lain, praktik-praktik tersebut sangat kental dengan tradisi adat. Banyak penelitian telah mengeksplorasi tradisi khatam al-Qur’an di Indonesia, namun kajian dalam wacana adat dan Islam di Minangkabau masih relatif sedikit mendapat perhatian akademis. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengeksplorasi dialektika antara Islam dan adat dalam perayaan khatam al-Qur'an. Apakah keduanya tetap tidak dapat didamaikan, seperti minyak dan air, atau berpadu secara harmonis dalam kehidupan sosial-keagamaan masyarakat Minangkabau. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif normatif, penelitian ini menempatkan Islam sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi keaslian khatam al-Qur'an yang dipraktikkan dalam masyarakat Minangkabau. Data dikumpulkan melalui penelitian lapangan di luhak (daerah inti) dan rantau (daerah perantauan) di Sumatera Barat. Luhak-luhak tersebut-seperti Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota-mewakili pusat-pusat budaya dan sejarah Minangkabau, sementara rantau-termasuk Padang, Pasaman, dan daerah-daerah periferi lainnya. menandakan perluasannya. Wawasan ini diperoleh dari wawancara mendalam dengan orang-orang yang terlibat langsung dalam perayaan khatam al-Qur'an. Temuan-temuan menunjukkan bahwa tradisi ini dilaksanakan di seluruh wilayah Minangkabau. Di rantau, upacara-upacara yang dilakukan umumnya sederhana dan terkendali. Sebaliknya, di daerah inti, terutama Agam, Tanah Datar, dan Lima Puluh Kota, perayaan ini ditandai dengan kemegahan dan kekhidmatan, terkadang dengan mengorbankan nilai-nilai Islam-terlihat dari praktik-praktik seperti makan bajamba yang berlebihan dan pawai yang menghalangi jalan raya. Perayaan khatam al-Qur'an perlu direstrukturisasi menjadi acara yang bermakna untuk menumbuhkan kesalehan religius dan mempererat persatuan komunitas, dengan dukungan aktif dari para pemuka agama, pendidik, dan otoritas lokal.