I Wayan Gede Artawan Eka Putra, I Wayan Gede Artawan Eka
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

HUBUNGAN ANTARA LEUKOARAIOSIS DAN ATROFI KORTIKAL GLOBAL PADA LANSIA Eveline, Ency; Sitanggang, Firman Parulian; Ayusta, I Made Dwijaputra; Putra, I Wayan Gede Artawan Eka; Anandasari, Pande Putu Yuli; Margiani, Ni Nyoman
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 6 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i06.P14

Abstract

ABSTRAK LATAR BELAKANG: Prevalens leukoaraiosis dan atrofi kortikal global (GCA) meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan apakah leukoaraiosis merupakan faktor risiko terjadinya GCA dan derajat leukoaraiosis berapakah yang berhubungan dengan kejadian GCA. METODE: Penelitian ini melibatkan 100 lansia yang berobat ke IGD RSUP Sanglah Denpasar yang melakukan CT-Scan kepala dengan indikasi apapun pada periode Juli 2021 hingga Januari 2022. Pemilihan sampel dilakukan secara simple random sampling menggunakan aplikasi random number generator. HASIL: Rerata usia subjek didapatkan 71,7 ± 7,7 tahun, 59% berjenis kelamin perempuan, 52% memiliki riwayat hipertensi, 29% riwayat dislipidemia, dan 13% merokok. Mayoritas yaitu 72% subjek menderita leukoaraiosis dan 67% menderita atrofi. Uji perbandingan kejadian atrofi berdasarkan leukoaraiosis menunjukkan 80,6% lansia dengan leukoaraiosis menderita atrofi dengan prevalence ratio 2,5 dan nilai P<0,001. Lalu dilakukan analisis perbandingan proporsi yang membandingkan derajat leukoaraiosis dan skala atrofi dengan membuat tabulasi silang. Hasil uji linear by linear association didapatkan koefisien korelasi Spearman sebesar r=0,535 dengan nilai P<0,001 yang menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi sedang antara derajat leukoaraiosis dan skala atrofi. Analisis multivariat menggunakan uji regresi Poisson menunjukkan adanya hubungan antara leukoaraiosis dan atrofi kortikal global setelah mengontrol variabel perancu by analysis dimana didapatkan hasil adjusted prevalence ratio sebesar 2,2 dengan nilai P=0,034. SIMPULAN: Leukoaraiosis secara independen memberikan peluang terjadinya atrofi sebanyak 2,2 kali pada lansia. Derajat leukoaraiosis yang mulai berhubungan dengan kejadian atrofi adalah sejak derajat ringan. Kata kunci: Leukoaraiosis, atrofi kortikal global, lansia
Faktor Risiko Dengue Shock Syndrome (DSS) Selama Pandemi Covid-19 dan Implikasinya Untuk Mitigasi Pandemi Serupa di Masa Depan: Studi Kasus Kontrol di Kabupaten Buleleng Arista, I Gede Peri; Putra, I Wayan Gede Artawan Eka; Astuti, Putu Ayu Swandewi
Seminar Ilmiah Nasional Teknologi, Sains, dan Sosial Humaniora (SINTESA) Vol. 7 (2025): PROSIDING SINTESA
Publisher : LPPM Universitas Dhyana Pura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Buleleng pada masa pandemi COVID-19 dilaporkan tertinggi di Indonesia dan semua kasus kematiannya diakibatkan oleh Dengue Shock Syndrome (DSS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan kejadian DSS pada masa pandemi COVID-19. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol dengan 48 penderita DSS dan 100 kontrol yang dipilih secara acak dari penderita DBD yang dirawat inap di RSU Kertha Usada dan RSUD Kabupaten Buleleng. Data dikumpulkan dari rekam medis meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, penyakit penyerta, riwayat DBD, keterlambatan datang ke rumah sakit, kepemilikan jaminan kesehatan, dan faktor lainnya. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan inferensial menggunakan uji regresi logistik dengan 95% Confidence Interval (CI). Penelitian ini mendapatkan determinan individu terjadinya DSS adalah umur <10 tahun (aOR = 13,026; 95%CI: 3,296-51,486, p=<0,001), status gizi obesitas (aOR = 3,843; 95%CI: 1,546-9,552, p=0,004), penyakit penyerta paru (aOR = 3,839; 95%CI: 1,286-11,461, p=0,0016), dan adanya riwayat DBD (aOR = 5,228; 95%CI: 1,979-13,807, p=0,001). Determinan individu kejadian DSS pada pandemi COVID-19 meliputi usia <10 tahun, status gizi dengan obesitas, riwayat penyakit paru, dan riwayat DBD. Oleh karena itu, peningkatan kewaspadaan dini terhadap DBD dan pengoptimalan pemantauan status gizi menjadi penting untuk pencegahan jika ada pandemi serupa.
HUBUNGAN ANTARA GANGGUAN STRES PASKA TRAUMA DENGAN KUALITAS HIDUP PADA TENAGA KESEHATAN PENYINTAS COVID-19 DI RSUP PROF. DR. I G.N.G. NGOERAH DAMARNEGARA, ANAK AGUNG NGURAH ANDIKA; ARIANI, NI KETUT PUTRI; LESMANA, COKORDA BAGUS JAYA; PUTRA, I WAYAN GEDE ARTAWAN EKA; ARYANI, LUH NYOMAN ALIT; WAHYUNI, ANAK AYU SRI; KURNIAWAN, LELY SETYAWATI
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 4 No. 4 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v4i4.4391

Abstract

The COVID-19 pandemic has had a significant impact on the mental health of health workers, including Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), which negatively affects their quality of life. This study aims to determine the prevalence of PTSD, quality of life, and the relationship between PTSD and quality of life in health workers who are COVID-19 survivors at Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah General Hospital. This analytical observational study used a cross-sectional design with the PCL-5 and WHOQOL-BREF questionnaires in 188 health workers from July to October 2022. The results showed a prevalence of PTSD of 10.1%. The overall quality of life was mostly in the good category (62.8%), but there were respondents with very poor (0.5%) and poor (3.2%) quality of life. In the physical health domain, the quality of life was mostly in the moderate category (61.7%), while the psychological, social relationships, and environmental domains showed variations in moderate to good quality of life with several respondents in the very poor category (0.5%). Analysis showed a trend towards worse overall quality of life in subjects with GSPT compared to those without (P<0.002). In conclusion, there is a significant relationship between GSPT and overall quality of life, although it does not apply to each domain of quality of life specifically. GSPT can reduce the overall quality of life of COVID-19 survivor health workers. ABSTRAKPandemi COVID-19 memberikan dampak signifikan terhadap kesehatan mental tenaga kesehatan, termasuk Gangguan Stres Pasca Trauma (GSPT), yang memengaruhi kualitas hidup mereka secara negatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi GSPT, kualitas hidup, serta hubungan antara GSPT dan kualitas hidup pada tenaga kesehatan penyintas COVID-19 di RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah. Penelitian observasional analitik ini menggunakan desain potong lintang dengan kuesioner PCL-5 dan WHOQOL-BREF pada 188 tenaga kesehatan dalam periode Juli hingga Oktober 2022. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi GSPT sebesar 10,1%. Kualitas hidup keseluruhan terbanyak berada pada kategori baik (62,8%), tetapi terdapat responden dengan kualitas hidup sangat buruk (0,5%) dan buruk (3,2%). Dalam domain kesehatan fisik, kualitas hidup terbanyak berada pada kategori sedang (61,7%), sedangkan domain psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan menunjukkan variasi kualitas hidup sedang hingga baik dengan beberapa responden pada kategori sangat buruk (0,5%). Analisis menunjukkan kecenderungan kualitas hidup keseluruhan yang lebih buruk pada subjek dengan GSPT dibandingkan yang tidak (P<0,002). Kesimpulan, terdapat hubungan signifikan antara GSPT dan kualitas hidup keseluruhan, meskipun tidak berlaku pada masing-masing domain kualitas hidup secara spesifik. GSPT dapat menurunkan kualitas hidup tenaga kesehatan penyintas COVID-19 secara keseluruhan.
Nilai Diagnostik Ultrasonografi Hepatobilier sebagai Prediktor Atresiabilier pada Kolestasis Bayi di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2017 - 2021 Agustina, Kristin; Anandasari, Pande Putu Yuli; Sitanggang, Firman Parulian; Putra, I Wayan Gede Artawan Eka; Asih, Made Widhi; Patriawan, Putu
Andalas Journal of Health Vol. 12 No. 1 (2023): Online March 2023
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v12i1.2156

Abstract

Hepatobiliary ultrasound is the most common initial diagnostic modality in the early detection of biliary atresia. It is not the gold standard, but the hepatobiliary ultrasound examination can be used to determine the appropriate further management. Objective: To determined the diagnostic value of ultrasound examination as a predictor of biliary atresia in cholestasis of infants. Methods: This was an observational study with a diagnostic test to determine the validity of hepatobiliary ultrasound as a predictor of biliary atresia with cholangiography as the gold standard. The research subjects were 40 infants taken by total sampling from January 2017 until December 2021. Data were obtained from medical records, hepatobiliary ultrasound images were accessed from PACS, and cholangiography results from SIMARS. The hepatobiliary ultrasound images were scored by two observers using a scoring table. The variables assessed included: gallbladder morphology, absence of common bile duct, triangular cord sign, gallbladder contraction index and liver morphology. Data analysis consisted of interobserver reliability test, and relationship assessment analysis. Diagnostic tests to determine the optimal cut-off score, sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value and accuracy. Results: At cut-off≥ 5, the number of patients with radiologically impressive biliary atresia was 26 and not biliary atresia was 14. The validity analysis showed a sensitivity 87.5%, specificity 68.8%, positive predictive  80.8%, negative predictive 78.6%, and accuracy 80%. Conclusion: The diagnostic value of hepatobiliary ultrasound as a predictor of biliary atresia in cholestasis of infants is good.Keywords:  biliary atresia, hepatobiliary ultrasound, neonatal cholestasis
OPTIMALISASI SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA DENPASAR : TANTANGAN, STRATEGI DAN REKOMENDASI PENGENDALIAN BERKELANJUTAN Karang, Ni Made Reyningrum; Putra, I Wayan Gede Artawan Eka; Dharmayuda, A.A Ngurah Gede; Astiti, Cokorda Istri Sri Dharma
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 9 No. 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v9i1.40996

Abstract

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan utama di wilayah tropis, termasuk di Kota Denpasar, yang memiliki distribusi kasus merata di berbagai wilayah dengan konsentrasi tertinggi di Kelurahan Sesetan. Tantangan utama dalam surveilans DBD meliputi keterlambatan pelaporan kasus, beban kerja ganda pada petugas, dan kurangnya pelatihan khusus. Surveilans yang efektif diperlukan untuk mendukung pengendalian dan pencegahan kasus DBD secara berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan surveilans berbasis data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Data dianalisis secara deskriptif untuk mengidentifikasi distribusi geografis, kelompok usia, jenis kelamin, serta efektivitas sistem pelaporan dari puskesmas dan rumah sakit. Observasi lapangan dan wawancara dilakukan untuk mengidentifikasi kendala dalam pelaksanaan surveilans. Hasil menunjukkan bahwa distribusi geografis kasus DBD tertinggi terdapat di Kelurahan Sesetan, yang dipengaruhi oleh kepadatan penduduk dan angka bebas jentik (ABJ) yang rendah. Analisis berdasarkan kelompok usia menunjukkan bahwa remaja dan dewasa muda (14–24 tahun) memiliki risiko tertinggi. RS Surya Husadha mencatat kontribusi pelaporan tertinggi, namun terdapat keterlambatan pelaporan kasus lebih dari 24 jam yang menghambat respons epidemiologi. Kendala lain yang diidentifikasi meliputi beban kerja ganda pada petugas surveilans dan kurangnya pelatihan khusus. Untuk itu, peningkatan efektivitas surveilans DBD di Kota Denpasar dapat dicapai melalui penguatan infrastruktur, penerapan teknologi pelaporan berbasis Google Form, peningkatan kapasitas petugas, dan pelaksanaan pelatihan berkelanjutan.
HUBUNGAN KUALITAS HIDUP DAN TINGKAT KEBAHAGIAAN PADA KLIEN TERAPI RUMATAN METADON DI POLIKLINIK ADIKSI RS NGOERAH Ayustama, Fariza; Lesmana, Cokorda Bagus Jaya; Aryani, Luh Nyoman Alit; Putra, I Wayan Gede Artawan Eka; Mahardika, I Komang Ana
CENDEKIA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Vol. 5 No. 3 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/cendekia.v5i3.6615

Abstract

Methadone Maintenance Therapy (MMT) has been proven effective in reducing the risk of opioid relapse. However, psychosocial aspects such as happiness and quality of life are still rarely addressed as indicators of therapeutic success. To assess the relationship between quality of life (WHOQOL-BREF) and happiness level (Oxford Happiness Questionnaire/OHQ) among MMT clients in Bali Province. This study employed an analytical observational design with a cross-sectional approach. A total of 36 respondents from four MMT institutions in Bali were selected purposively. Pearson correlation, chi-square, and multiple linear regression analyses were conducted. The mean total quality of life score (WHOQOL-BREF) was 118.53 ± 12.77, and the mean happiness score (OHQ) was 101.17 ± 15.67. Significant correlations were found between the psychological domain and happiness (r = 0.521; p = 0.001), the environmental domain (r = 0.415; p = 0.012), and the social domain (r = 0.336; p = 0.045). The physical domain was not significantly associated (r = 0.239; p = 0.161). In the multivariate analysis, significant predictors of happiness were marital status (B = -4.589; p = 0.004), duration of methadone use (B = 1.791; p = 0.007), and the psychological domain (B = 0.490; p = 0.022). The model's R² was 0.635, indicating a strong predictive contribution of these variables. There is a significant relationship between quality-of-life scores in the psychological, environmental and social domains with happiness scores. The control variables in the marital status and length of methadone use were significantly related to happiness scores in the multivariate model. The PTRM program needs to integrate supportive psychological, social and environmental approaches as part of holistic recovery. ABSTRAKProgram Terapi Rumatan Metadon (PTRM) terbukti efektif dalam menurunkan risiko kekambuhan opioid. Namun, indikator keberhasilan terapi belum banyak menyoroti aspek psikososial seperti kebahagiaan dan kualitas hidup. Menilai hubungan antara kualitas hidup (WHOQOL-BREF) dan tingkat kebahagiaan (Oxford Happiness Questionnaire/OHQ) pada klien PTRM di Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sebanyak 36 responden dari empat institusi PTRM di Bali dipilih secara purposif. Analisis korelasi Pearson, chi-square, dan regresi linear multivariat digunakan. Skor rata-rata kualitas hidup (WHOQOL-BREF total) adalah 118,53 ± 12,77, sedangkan skor kebahagiaan (OHQ) adalah 101,17 ± 15,67. Terdapat korelasi signifikan antara domain psikologis dengan kebahagiaan (r = 0,521; p = 0,001), domain lingkungan (r = 0,415; p = 0,012), dan domain sosial (r = 0,336; p = 0,045). Domain fisik tidak menunjukkan hubungan bermakna (r = 0,239; p = 0,161). Dalam analisis multivariat, variabel yang berhubungan signifikan terhadap kebahagiaan adalah status perkawinan (B = -4,589; p = 0,004), lama penggunaan metadon (B = 1,791; p = 0,007), dan domain psikologis (B = 0,490; p = 0,022). R² model sebesar 0,635 menunjukkan kontribusi variabel-variabel prediktor terhadap kebahagiaan cukup kuat. Terdapat hubungan yang signifikan antara skor kualitas hidup pada domain psikologis, lingkungan dan sosial dengan skor kebahagiaan. Variabel kendali berupa perkawinan dan lama penggunaan metadon berhubungan signifikan terhadap skor kebahagiaan dalam model multivariat. Program PTRM perlu mengintegrasikan pendekatan psikologis, sosial dan lingkungan yang mendukung sebagai bagian dari pemulihan holistik.