Articles
Ekspresi Kalretinin Pada Diagnosis Sitologi Efusi Pleura dengan Gambaran Sitomorfologi Adenokarsinoma
Syeben Hezer;
Indra Wijaya;
Ika Pawitra Miranti;
Meira Dewi Kusuma
Biomedika Vol 7, No 1 (2015): Biomedika Februari 2015
Publisher : Universitas Muhamadiyah Surakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.23917/biomedika.v7i1.1574
Metastasis adenokarsinoma adalah kasus yang paling sering dijumpai pada efusi pleura yang disebabkan oleh keganasan. calretinin sampai saat ini digunakan sebagai penanda untuk sel mesothel baik jinak maupun ganas. Calretinin digunakan terutama untuk membedakan mesothelioma dari suatu karsinoma atau metastasis keganasan lainnya. Namun beberapa penelitian membuktikan bahwa kalretinin tidak hanya positif untuk sel-sel mesothel tetapi dapat pula pada keganasan lain seperti metastasis adenokarsinoma atau squamous sel karsinoma. Penelitian ini bertujuan membuktikan terdapat ekspresi kalretinin pada efusi pleura dengan gambaran sitomorfologi suatu adenokarsinoma. Jenis penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan desain cross sectional. Terdapat 20 blok sitologi dari efusi pleura yang memenuhi kriteria kemudian dilakukan pengecatan calretinin. Ekspresi positif ditandai dengan tercatnya inti dan sitoplasma sel yang dicurigai ganas. Ekspresinya dibaca oleh 2 orang spesialis Patologi Anatomi secara blindly. Ekspresi calretinin negatif pada 6 sampel, positif I pada 8 sampel, positif II pada 2 sampel dan positif III pada 4 sampel. Terdapat ekspresi calretinin pada pada efusi pleura dengan gambaran sitomorfologi suatu adenokarsinoma dengan tingkat positivitas yang berbeda-beda, hal ini menunjukan bahwa kalretinin bukan merupakan penanda yang spesifik dan sensitif untuk sel-sel mesothel baik jinak maupun ganas.Kata kunci: Calretinin, Sitologi efusi, Adenokarsinoma
THE CORRELATION BETWEEN CELL OF ORIGIN SUBTYPE WITH OVERALL SURVIVAL OF DIFFUSE LARGE B-CELL LYMPHOMA PATIENTS IN KARIADI GENERAL HOSPITAL SEMARANG
Jenifer Marsela Tarius;
Hermawan Istiadi;
Ika Pawitra Miranti;
Intan Rahmania Eka Dini
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 9, No 3 (2020): DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL ( Jurnal Kedokteran Diponegoro )
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (520.406 KB)
|
DOI: 10.14710/dmj.v9i3.27504
Background: DLBCL is the most common type of NHL in the world. DLBCL based on cell of origin is divided into GCB and non-GCB. The diagnosis of DLBCL has not been routinely done to its cell of origin, and there have not been many studies that discuss the DLBCL subtype and the overall survival of the patients, especially in Kariadi General Hospital. This study aims to determine the correlation of DLBCL cell of origin with the 2-year overall survival of DLBCL patients in Kariadi General Hospital. Methods: This is an observational analytic study of 40 DLBCL patients in Kariadi General Hospital from January to August 2017. The data collection including: age of diagnosis, location, stage and 2-year overall survival. Data analysis used chi square test and Kaplan Meier curve. Results: GCB patients had higher 2-year overall survival than non-GCB subtype significantly (p: 0.047), with a 2-year survival rate of GCB subtype was 66.7% and non-GCB subtype was 31.6%. GCB patients tend to have early stage than non-GCB subtype significantly (p:0.028). Conclusion: DLBCL GCB subtype patients had significantly higher 2-year overall survival therefore it has better prognosis than non-GCB subtype.
THE DIFFERENCE OF HISTOPATHOLOGICAL IMAGE OF THE WISTAR RAT’S KIDNEY ADMINISTERED WITH GRADUAL DOSAGE OF PYRETHROID
Diaz Almayang;
Saebani Saebani;
Tuntas Dhanardhono;
Endang Ambarwati;
Ika Pawitra Miranti
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO (DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL) Vol 10, No 2 (2021): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO (DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.14710/dmj.v10i2.29537
Background: Pyrethroid pesticide poisoning cases in developed and developing countries have a high incidence every year. One of the active substances in pyrethroid widely used is cypermethrin. The effects of cypermethrin intoxication on the kidneys, especially in humans, are little to be studied. This study aims to determine the difference in the histopathological image of the Wistar rat’s kidney.Method: The experimental research of the post-test only control group design involved 24 male Wistar rats divided into 4 groups randomly, the control (not given cypermethrin), treatments of 125 mg/kgBW, 250 mg/kgBW, and 500 mg/kgBW. Cypermethrin are given orally for 14 days. After the rats were terminated, the kidney were processed to be paraffin-embedded tissues and stained with HE. Tubular injuries were examined using 400x magnification of light microscope and focused on closure of tubular lumen as well as proteinaceous cast inside the lumens.Results: The results of this study showed that the means of histopathological damage to the kidneys increased from control group to 500 mg/kgBW treatment group. Statistical analysis with One way ANOVA showed significant differences (p<0.001), continued with Post hoc games Howell test, there was a significant differences between control group with 250 mg/kgBW treatment group and 500 mg/kgBW treatment group, and between 125 mg/kgBW treatment group with 250mg/kgBW treatment group and 500 mg/kgBW treatment group. There was no significant difference between the control group with 125 mg/kgBW group and 250 mg/kgBW treatment group with 500 mg/kgBW treatment group.Conclusion: There is a significant difference in renal histopathological image due to exposure to pyrethroid (cypermethrin) in gradual doses. The image of kidney damages can result in tubules injury which include: albuminous degeneration with narrowing of the tubular lumen and hyaline cast. The means of tubular injury rate will increase with increasing dose of pyrethroid.
HISTOPATOLOGI SPERMATOGENESIS TESTIS TIKUS WISTAR DIABETES MELITUS
Siera Adelati;
Achmad Zulfa Juniarto;
Ika Pawitra Miranti
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (987.966 KB)
|
DOI: 10.14710/dmj.v5i4.15962
Latar Belakang: Pada penderita diabetes melitus tingginya kadar gula darah dapat meningkatkan ROS sehingga mengakibatkan stres oksidatif. Stres oksidatif di dalam sel dapat mengganggu proses respirasi sel sehingga menyebabkan hilangnya fungsi potensial membran mitokondria dan memicu terjadinya apoptosis sel. Stres oksidatif pada testis dapat mengganggu tahapan proses spermatogenesis pada tubulus seminiferus.Tujuan: Membuktikan adanya gangguan yang bermakna terhadap tahapan spermatogenesis pada tikus Wistar jantan dengan diabetes melitus dibandingkan tikus normal.Metode: Penelitian ini menggunakan desain true experimental dengan post test only control group. Sampel sebanyak 32 tikus Wistar dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok kontrol (K) hanya diberi pakan standar dan kelompok perlakuan (P) dibuat kondisi diabetes melitus dengan diinduksi aloksan 150mg/kgBB 1 kali pada hari ke 8. Masing – masing kelompok diukur kadar gula darah pada hari ke 8, 14, dan 28. Setelah 21 hari tikus diterminasi. Testis diambil untuk dilakukan pengamatan histopatologi dengan pengecatan HE dan dinilai menurut kriteria skor Johnsen.Hasil: Didapatkan nilai median kelompok perlakuan adalah 8.6 (range 6 – 9.2), kelompok kontrol yaitu 10 (range 7 – 10). Berdasarkan analisis analitik uji normalitas data uji Saphiro-Wilk didapatkan hasil yang tidak normal p<0.001. Hasil uji beda non-parametrik Mann Whitney didapatkan hasil yang signifikan antara kelompok kontrol dan perlakuan yaitu p=0.00011.Kesimpulan: Kadar gula darah yang tinggi pada kondisi diabetes melitus dapat mengganggu tahapan spermatogenesis.
GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS TIKUS WISTAR AKIBAT LUKA BAKAR TERMAL SELUAS 30% TOTAL BODY SURFACE AREA (TBSA) PADA FASE INTRAVITAL, PERIMORTEM DAN POSTMORTEM
Naufaldi Dary Hartanto;
Intarniati Nur Rohmah;
Ika Pawitra Miranti
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (350.371 KB)
|
DOI: 10.14710/dmj.v7i2.21193
Latar Belakang : Luka bakar merupakan salah satu cedera yang mengakibatkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi di dunia. Luka bakar dapat digunakan untuk mengaburkan penyebab kematian seseorang apakah luka bakar terjadi saat korban masih hidup, sesaat setelah korban meninggal, atau saat korban sudah meninggal. Adanya temuan infiltrasi leukosit dan vasodilatasi vaskular pada usus halus ketika terjadi luka bakar akan digunakan sebagai pembeda luka bakar pada fase intravital, perimortem dan postmortem.Tujuan : Mengetahui perbedaan gambaran histopatologi (infiltrasi leukosit dan vasodilatasi vaskular ) usus halus tikus wistar akibat luka bakar pada fase intravital, perimortem dan postmortem.Metode : Penelitian eksperimental dengan Post Test-Only Control Group Design. Sampel terdiri dari 24 tikus wistar jantan yang terbagi menjadi 4 kelompok. Kelompok K tidak diberi perlakuan. Kelompok P1 diberi paparan luka bakar intravital. Kelompok P2 diberi paparan luka bakar perimortem yaitu 10 menit sejak waktu kematian. Kelompok P3 diberi paparan luka bakar postmortem yaitu 3 jam sejak waktu kematian. Setelah dilakukan intervensi, dilakukan pembuatan preparat usus halus dan pemeriksaan gambaran mikorskopis. Uji analisis menggunakan Kruskall Wallis dan Mann Whitney untuk paramter infiltrasi leukosit dan menggunakan uji Chi-Square untuk parameter vasodilatasi.Hasil : Pada paramteter infiltrasi leukosit uji Kruskal Wallis menunjukkan perbedaan bermakna dengan nilai p = 0.003 pada seluruh kelompok, dilanjutkan dengan uji Mann Whitney antar kelompok didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok K dengan P1, K dengan P2, K dengan P3 dan P1 dengan P3 dan didapatkan perbedaan tidak bermakna pada kelompok P1 dengan P2, dan P2 dengan P3. Pada parameter vasodilatasi, tidak didapatkan perbedaan pada seluruh kelompok sehingga tidak mengeluarkan hasil ketika diuji dengan Chi-Square.Kesimpulan : Infiltrasi leukosit tertinggi terdapat pada kelompok intravital, kemudian perimortem, postmortem dan tidak didapatkan pada kontrol. Tidak didapatkan vasodilatasi vaskuler pada seluruh kelompok.
PENGARUH PEMBERIAN RANITIDINE TERHADAP HISTOPATOLOGI HIPOKAMPUS TIKUS WISTAR DENGAN INTOKSIKASI METANOL AKUT
Fernando Fernando;
Mohammad Thohar Arifin;
Ika Pawitra Miranti
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (558.801 KB)
|
DOI: 10.14710/dmj.v5i4.14432
Latar belakang : Metanol merupakan salah satu senyawa yang dapat merusak secara sistemik akibat dari asidosis. Salah satu organ yang terkena dampak adalah hipokampus. Ranitidine diketahui dapat menurunkan kadar asam format dalam darah sehingga dapat mengurangi dampak toksik dari metanol.Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian ranitidine terhadap histopatologi hipokampus tikus Wistar dengan intoksikasi metanol akut.Metode : Penelitian true experimental dengan rancangan parallel post test only control group design ini menggunakan tikus strain Wistar jantan usia 2-3 bulan (n=15) yang secara random dibagi menjadi 3 kelompok (kelompok kontrol negatif (n=5), kelompok kontrol positif (n=5), dan perlakuan (n=5)). Pada 8 jam setelah pemberian perlakuan, otak tikus diambil dan diperiksa persentase nekrosis dari sel hipokampus dengan pengecatan HE . Uji statistik yang digunakan uji Kruskal Wallis dan dilanjutkan uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan.Hasil : Pada penelitian ini didapatkan peningkatan jumlah sel nekrosis hipokampus pada kelompok kontrol positif dibandingkan kontrol negatif dan penurunan pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol positif. Terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol positif dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (p=0.008), dan perlakuan (p=0.008). Akan tetapi tidak ada perbedaan antara kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (p=0.690).Simpulan : Permberian ranitidine dapat mengurangi derajat nekrosis sel pada sel hipokampus tikus Wistar dengan intoksikasi metanol akut.
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN KELOR (MORINGA OLEIFERA) DOSIS BERTINGKAT PADA GAMBARAN MIKROSKOPIS HEPAR TIKUS WISTAR YANG DINDUKSI FORMALIN
Okta Hardianti Putri;
Desy Armalina;
Farmaditya Eka Putra Mundhofir;
Akhmad Ismail;
Ika Pawitra Miranti
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (564.553 KB)
|
DOI: 10.14710/dmj.v7i2.21188
Latar Belakang: Formaldehida adalah anggota aldehida yang paling sederhana, namun sangat reaktif. Senyawa formalin akan didetoksifikasi dan dimetabolisme oleh hepar sehingga dapat merusak sel-sel hepar. Daun kelor di Indonesia memiliki berbagai manfaat dengan nilai gizi yang tinggi dan kandungan antioksidan yang diketahui dapat mengobati penyakit hati. Maka, daun kelor (Moringa oleifera) yang berperan dalam hepatoproteksi dapat mengurangi efek formalin pada hepar.Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dosis bertingkat pada gambaran mikroskopis hepar tikus wistar yang dinduksi formalin.Metode: Penelitian ini menggunakan jenis penelitian true eksperimental laboratorik dengan Post Test Only with Control Group Design. Sampel sebanyak 25 ekor tikus wistar jantan yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, diadaptasi selama 7 hari. Kelompok kontrol negatif diberi pakan dan minum standar, kontrol positif diberikan pakan standar dan aquadest selama 5 hari dan dilanjutkan formalin peroral 100 mg/kgBB/hari selama 21 hari tanpa perlakuan. Kelompok P1, P2, dan P3 diberi pakan dan proteksi ekstrak daun kelor pada 5 hari pertama, dengan dosis 200, 400, dan 800 mg/kgBB/hari. Dilanjutkan pemberian formalin 100 mg/kgBB/hari dan ekstrak daun kelor sesuai dengan dosis proteksi selama 21 hari. Setelah 26 hari,tikus wistar dianestesi lalu dibedah kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi hepar berupa degenerasi dan nekrosis.Hasil: Rerata degenerasi sel hepar tertinggi pada kelompok kontrol positif. Pada degenerasi dan nekrosis terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) pada Kontrol negatif dengan P1, P2, P3 dan Kontrol positif dengan P1, P2, P3.Simpulan: Pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dosis bertingkat bertingkat menyebabkan terjadinya perubahan gambaran mikroskopis hepar tikus wistar yang diinduksi formalin.
PERBEDAAN DERAJAT FIBROSIS HEPAR TIKUS WISTAR YANG DILAKUKAN LIGASI DUKTUS KOLEDOKUS ANTARA KELOMPOK PEMBERIAN KOMBINASI UDCA-GLUTATHIONE DENGAN PEMBERIAN TUNGGAL UDCA
Novita Ikbar Khairunnisa;
Agung Aji Prasetyo;
Ika Pawitra Miranti
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (805.603 KB)
|
DOI: 10.14710/dmj.v5i4.15594
Latar Belakang: Kolestasis dapat memicu kematian sel, fibrosis, sirosis, dan kegagalan fungsi hepar. Walaupun dengan manfaat yang terbatas, Ursodeoxycholic Acid (UDCA) merupakan terapi yang direkomendasikan oleh Food and Drug Administration sebagai tatalaksana kolestasis. Glutathione memiliki peran penting sebagai antioksidan dan regulasi proses seluler seperti diferensiasi, proliferasi dan apopstosis sel. Terganggunya keseimbangan Glutathione memiliki korelasi terhadap penyakit hepar .Tujuan: Mengetahui adanya perbedaan derajat fibrosis hepar pada tikus yang dilakukan ligasi duktus koledokus antara kelompok pemberian kombinasi UDCA-Glutathione dengan pemberian tunggal UDCAMetode: Penelitian True Experimental dengan rancangan “post test only control group design”. Menggunakan 15 ekor tikus wistar yang dibagi menjadi tiga kelompok K , P1 dan P2. Tiap tikus dilakukan ligasi duktus koledokus. Kelompok K sebagai kontrol dan tidak diberi terapi, P1 diberi terapi UDCA 20 mg per oral dan P2 diberi kombinasi UDCA 20 mg per oral dan Glutathione 15 mg IM. Setelah intervensi selama 21 hari, seluruh tikus diterminasi dan dilakukan pembuatan preparat hepar dengan pengecatan Masson-trichrome. Derajat fibrosis ditentukan menggunakan sistem Laennec. Uji statistik menggunakan uji Kruskal Wallis dan dilanjutkan uji Mann Whitney.Hasil: Pemeriksaan derajat fibrosis menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok P2 dengan K (p = 0.013) dan antara kelompok P2 dengan P1 (p = 0.006). Tetapi tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara kelompok P1 dan K (p= 0.469)Simpulan: Pemberian terapi kombinasi memberikan gambaran fibrosis yang lebih rendah.
PENGARUH PEMBERIAN RANITIDINE TERHADAP SPERMATOGENESIS TIKUS Wistar DENGAN INTOKSIKASI METANOL AKUT DILIHAT SECARA HISTOPATOLOGIS
James Otniel;
Muhammad Thohar Arifin;
Ika Pawitra Miranti
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 6, No 2 (2017): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (719.796 KB)
|
DOI: 10.14710/dmj.v6i2.18584
Latar belakang: Metanol memiliki efek toksik melalui metabolitnya yaitu asam format yang mengakibatkan gangguan spermatogenesis. Ranitidine mempunyai enzim yang dapat menghambat terbentuknya metabolit asam format sehingga diharapkan akan mengurangi efek toksisitas dari metanol terhadap fungsi spermatogenesis.Tujuan: Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemberian ranitidine pada tikus Wistar jantan yang terintoksikasi metanol akut terhadap gambaran histopatologi spermatogenesis.Metode: Penelitian ini memakai desain true experimental post test only control group. Tikus Wistar jantan usia 2-3 bulan (n=15) secara random dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif (n=5), kelompok kontrol positif (n=5), dan kelompok perlakuan (n=5). Selama 14 hari, dilakukan pemberian metanol per oral untuk kelompok kontrol positif dan perlakuan, diikuti injeksi ranitidine per intraperitoneal 1 jam setelah pemberian metanol untuk kelompok perlakuan. Kemudian dilakukan terminasi tikus dan testisnya diambil untuk dibuat preparat dengan pengecatan HE. Selanjutnya, pemeriksaan spermatogenesis dilakukan dengan menggunakan skor Johnsen.Hasil: Kelompok kontrol positif secara signifikan (p<0.05) menunjukkan spermatogenesis yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Pemberian ranitidine pada tikus yang terintoksikasi metanol akut secara signifikan (p<0.05) menunjukkan spermatogenesis yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Tidak terdapat perbedaan spermatogenesis antara kelompok yang diberikan ranitidine dengan kelompok kontrol negatif.Kesimpulan: pemberian ranitidine pada tikus yang terintoksikasi metanol akut dapat mengurangi gangguan spermatogenesis secara histopatologis
PERBANDINGAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI OTAK TIKUS WISTAR YANG DIGANTUNG DENGAN PEMBEDAAN PERIODE POSTMORTEM
Rr Hillary Kusharsamita;
Intarniati Nur Rohmah;
Ika Pawitra Miranti
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 8, No 1 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (568.046 KB)
|
DOI: 10.14710/dmj.v8i1.23391
Latar Belakang: Penggantungan adalah kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan. Penggantungan dapat dilakukan antemortem (saat korban masih hidup) dan postmortem (saat korban sudah meninggal). Kematian dikaitkan dengan bunuh diri atau kecelakaan pada penggantungan antemortem. Sebaliknya, penggantungan pada postmortem digunakan sebagai metode untuk menutupi pembunuhan sebagai suatu tindakan bunuh diri setelah korban dibunuh dengan metode yang berbeda. Oleh karena itu, penentuan waktu kematian atau Postmortem Interval (PMI) merupakan hal terpenting dan tugas fundamental ahli patologi forensik ketika jenazah ditemukan. Gambaran histopatologi dapat dipilih sebagai metode tambahan untuk memberikan hasil PMI yang akurat. Salah satu parameter histopatologi otak yang dapat digunakan adalah astrogliosis yaitu perubahan morfologi dan fungsional astrosit sebagai mekanisme kompensasi kerusakan pada otak karena kematian akibat asfiksia Tujuan:. Mengetahui perbandingan gambaran astrogliosis berdasarkan histopatologi otak tikus Wistar dengan perbedaan periode pememulaian penggantungan pada fase postmortem Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan Post Test-Only Control Group Design. Sampel teriri dari 28 tikus eistar jantan yang terbagi dalam 4 kelompok. Kelompok Kontrol (K) yaitu tikus yang digantung antemortem. Kelompok Perlakuan 1 (P1) yaitu tikus yang mulai digantung 1 jam postmortem. Kelompok Perlakuan 2 (P2) yaitu tikus yang mulai digantung 2 jam postmortem. Kelompok Perlakuan 3 (P3) yaitu tikus yang mulai digantung 3 jam postmortem. Uji analisis menggunakan uji Kruskal Wallis kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk parameter astrogliosis Hasil: uji Kruskal Wallis menunjukkan perbedaan bermakna dengan nilai p = 0,018 pada seluruh kelompok. Kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok K dengan P1, dan P1 dengan P3. Sementara itu, pada kelompok K dengan P2, K dengan P3, dan P2 dengan P3 tidak didapatkan perbedaan bermakna. Kesimpulan: Terdapat perbedaan gambaran astrogliosis berdasarkan histopatologi otak tikus Wistar dengan pembedaan periode memulai penggantungan postmortemKata Kunci: Penggantungan, astrogliosis, PMI (Postmortem Interval)