Siti Muzaiyanah
Unknown Affiliation

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

PUPUK HAYATI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN PRODUKSI KEDELAI DI TANAH MASAM Harsono, Arief; Husein, E.; Sucahyono, Didik; Muzaiyanah, Siti
Buletin Palawija No 28 (2014)
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Produksi kedelai di Indonesia hingga kini baru dapat memenuhi 40% kebutuhan domestik, karena areal panennya kurang luas dan produktivitasnya rendah. Untuk pengembangan kedelai, di Indonesia tersedia tanah masam 18,5 juta ha yang sebagian besar sudah dimanfaatkan untuk usahatani tanaman pangan dan perkebunan. Dengan pengaturan polatanam yang tepat, kedelai dapat dibudidayakan di lahan tersebut dengan keuntungan memadai. Pengembangan kedelai ke tanah masam juga selaras dengan program pembangunan Kementerian Pertanian ke depan yang akan difokuskan pada lahan suboptimal. Kendala pengembangan kedelai di tanah masam di antaranya adalah pH tanah rendah, ketersediaan hara N, P, K, Ca, dan Mg rendah, kejenuhan Al-dd, kandungan Fe dan Mn tinggi, serta miskin biota tanah. Di tanah masam, penggunaan pupuk hayati dan pupuk organik yang efektif pada kedelai, mampu menghemat kebutuhan NPK lebih dari 50%, dan menghasilkan biji (>2,0 t/ha) lebih tinggi dibanding dipupuk NPK rekomendasi. Di sentra produksi ubikayu, kedelai dapat dikembangkan dengan menerapkan polatanam ubikayu + kacang tanah /+ kedelai, atau ubikayu + kedelai, masing-masing untuk lahan dengan jumlah bulan basah lebih dan kurang dari lima bulan per tahun. Penerapan pola tanam ini mampu meningkatkan intensitas tanam, mengurangi risiko kegagalan panen, dan meningkatkan pendapatan petani, dari 11–13 juta rupiah menjadi 23–27 juta rupiah per hektar tanpa menurunkan hasil ubikayu. Pola tanam tersebut, juga dapat diterapkan pada lahan perkebunan karet dan sawit muda. Keberhasilan upaya pengembangan kedelai pada tanah masam memerlukan: (1) Dukungan program dari penentu kebijakan, (2) Insentif penyediaan sarana produksi, jaminan harga dan pasar, dan (3) Investor yang bergerak di bidang industri dan perdagangan kedelai.
PUPUK HAYATI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN PRODUKSI KEDELAI DI TANAH MASAM Harsono, Arief; Husein, E.; Sucahyono, Didik; Muzaiyanah, Siti
Buletin Palawija No 28 (2014): Buletin Palawija No 28, 2014
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (142.551 KB) | DOI: 10.21082/bulpa.v0n28.2014.p102-114

Abstract

Produksi kedelai di Indonesia hingga kini baru dapat memenuhi 40% kebutuhan domestik, karena areal panennya kurang luas dan produktivitasnya rendah. Untuk pengembangan kedelai, di Indonesia tersedia tanah masam 18,5 juta ha yang sebagian besar sudah dimanfaatkan untuk usahatani tanaman pangan dan perkebunan. Dengan pengaturan polatanam yang tepat, kedelai dapat dibudidayakan di lahan tersebut dengan keuntungan memadai. Pengembangan kedelai ke tanah masam juga selaras dengan program pembangunan Kementerian Pertanian ke depan yang akan difokuskan pada lahan suboptimal. Kendala pengembangan kedelai di tanah masam di antaranya adalah pH tanah rendah, ketersediaan hara N, P, K, Ca, dan Mg rendah, kejenuhan Al-dd, kandungan Fe dan Mn tinggi, serta miskin biota tanah. Di tanah masam, penggunaan pupuk hayati dan pupuk organik yang efektif pada kedelai, mampu menghemat kebutuhan NPK lebih dari 50%, dan menghasilkan biji (>2,0 t/ha) lebih tinggi dibanding dipupuk NPK rekomendasi. Di sentra produksi ubikayu, kedelai dapat dikembangkan dengan menerapkan polatanam ubikayu + kacang tanah /+ kedelai, atau ubikayu + kedelai, masing-masing untuk lahan dengan jumlah bulan basah lebih dan kurang dari lima bulan per tahun. Penerapan pola tanam ini mampu meningkatkan intensitas tanam, mengurangi risiko kegagalan panen, dan meningkatkan pendapatan petani, dari 11–13 juta rupiah menjadi 23–27 juta rupiah per hektar tanpa menurunkan hasil ubikayu. Pola tanam tersebut, juga dapat diterapkan pada lahan perkebunan karet dan sawit muda. Keberhasilan upaya pengembangan kedelai pada tanah masam memerlukan: (1) Dukungan program dari penentu kebijakan, (2) Insentif penyediaan sarana produksi, jaminan harga dan pasar, dan (3) Investor yang bergerak di bidang industri dan perdagangan kedelai.
Response of Corn-Soybean Intercropping to Fertilizer Packages in Dry Land with Dry Climate Kristiono, Afandi; Muzaiyanah, Siti
PLANTA TROPIKA: Jurnal Agrosains (Journal of Agro Science) Vol 9, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/pt.v9i2.4378

Abstract

Intercropping soybean with corn on dry land with dry climate (DLDC) is an alternative program to expand the soybean cultivation harvested area. This study evaluated the effectiveness of fertilization performance in the intercropping of soybean-corn in DLDC. The experiment in this study was arranged in a randomized block design, consisting of seven fertilizer package treatments with four replications. The spacing between corn (Pertiwi 3) and soybean (Dena 1) was (50 cm x 200 cm) x 40 cm (2 plants/clump) and between soybeans (Dena 1) was 40 cm x 15 cm (2-3 plants/clumps). The observations consisted of soil analysis (pH, organic matter, total N (Kjeldahl), available P, Ca-dd, Mg-dd, K-dd, and Na-dd), soybean leaf chlorophyll index (45 and 60 days after planting/dap), plant height at (45 daps and harvest), number and weight of root nodules (45 daps); Corn: chlorophyll index (56 daps), plant height (harvest), analysis of corn and soybean plant tissue (60 daps), yield, and yield components of dry seeds of soybean and corn per hectare. The results showed that effective fertilization for the intercropped crops was 53 kg N + 1,500 kg of manure per hectare in corn plant and 7 kg N + 22 kg P2O5 + 18 kg K2O + 1,500 kg/ha manure + Rhizobium Iletrisoy/Agrisoy in soybean crops.
PUPUK HAYATI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN PRODUKSI KEDELAI DI TANAH MASAM Arief Harsono; E. Husein; Didik Sucahyono; Siti Muzaiyanah
Buletin Palawija No 28 (2014): Buletin Palawija No 28, 2014
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bulpa.v0n28.2014.p102-114

Abstract

Produksi kedelai di Indonesia hingga kini baru dapat memenuhi 40% kebutuhan domestik, karena areal panennya kurang luas dan produktivitasnya rendah. Untuk pengembangan kedelai, di Indonesia tersedia tanah masam 18,5 juta ha yang sebagian besar sudah dimanfaatkan untuk usahatani tanaman pangan dan perkebunan. Dengan pengaturan polatanam yang tepat, kedelai dapat dibudidayakan di lahan tersebut dengan keuntungan memadai. Pengembangan kedelai ke tanah masam juga selaras dengan program pembangunan Kementerian Pertanian ke depan yang akan difokuskan pada lahan suboptimal. Kendala pengembangan kedelai di tanah masam di antaranya adalah pH tanah rendah, ketersediaan hara N, P, K, Ca, dan Mg rendah, kejenuhan Al-dd, kandungan Fe dan Mn tinggi, serta miskin biota tanah. Di tanah masam, penggunaan pupuk hayati dan pupuk organik yang efektif pada kedelai, mampu menghemat kebutuhan NPK lebih dari 50%, dan menghasilkan biji (>2,0 t/ha) lebih tinggi dibanding dipupuk NPK rekomendasi. Di sentra produksi ubikayu, kedelai dapat dikembangkan dengan menerapkan polatanam ubikayu + kacang tanah /+ kedelai, atau ubikayu + kedelai, masing-masing untuk lahan dengan jumlah bulan basah lebih dan kurang dari lima bulan per tahun. Penerapan pola tanam ini mampu meningkatkan intensitas tanam, mengurangi risiko kegagalan panen, dan meningkatkan pendapatan petani, dari 11–13 juta rupiah menjadi 23–27 juta rupiah per hektar tanpa menurunkan hasil ubikayu. Pola tanam tersebut, juga dapat diterapkan pada lahan perkebunan karet dan sawit muda. Keberhasilan upaya pengembangan kedelai pada tanah masam memerlukan: (1) Dukungan program dari penentu kebijakan, (2) Insentif penyediaan sarana produksi, jaminan harga dan pasar, dan (3) Investor yang bergerak di bidang industri dan perdagangan kedelai.
Kedelai sebagai Bahan Pangan Kaya Isoflavon Rahmi Yulifianti; Siti Muzaiyanah; Joko Susilo Utomo
Buletin Palawija Vol 16, No 2 (2018): Buletin Palawija Vol 16 no 2, 2018
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bulpa.v16n2.2018.p84-93

Abstract

Kedelai potensial sebagai bahan pangan fungsional, di samping sebagai sumber protein. Hal ini berkaitan dengan keberadaan 12 jenis isoflavon pada biji kedelai, baik dalam bentuk glikosida maupun aglikon. Senyawa isoflavon bermanfaat bagi kesehatan karena memiliki aktivitas antioksidan yang dapat mencegah kanker payudara, kanker kolon, osteoporosis, dan penyakit-penyakit degeneratif seperti penuaan dini, jantung koroner dan hipertensi, serta mengurangi sindrom menopause pada wanita. Kandungan isoflavon pada biji kedelai bervariasi dari 128 hingga 380 mg/100 g, dan yang dominan adalah genistein dan daidzein. Varietas unggul kedelai Devon 1 mengandung total isoflavon 221,97 mg/100 g dan varietas Devon 2 mengandung 30,37 mg/100 g untuk total genistein dan daidzein, sehingga masih terbuka peluang untuk meningkatkan kandungan isoflavon melalui perakitan varietas baru. Selain faktor genetis, kandungan isoflavon kedelai juga dipengaruhi oleh musim tanam, umur panen, pengairan, sinar UV dan kandungan unsur hara tanah, serta proses pengolahan. Perkecambahan dan fermentasi meningkatkan kandungan isoflavon, dan pemanasan dapat mengubah struktur kimia isoflavon. Tingkat konsumsi protein kedelai 25 g/hari atau setara asupan isoflavon 37-62 mg/hari diperkirakan dapat memenuhi 83% dari kebutuhan isoflavon harian yang dianjurkan.
Kedelai sebagai Bahan Pangan Kaya Isoflavon Rahmi Yulifianti; Siti Muzaiyanah; Joko Susilo Utomo
Buletin Palawija Vol 16, No 2 (2018): Buletin Palawija Vol 16 no 2, 2018
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bulpa.v16n2.2018.p84-93

Abstract

Kedelai potensial sebagai bahan pangan fungsional, di samping sebagai sumber protein. Hal ini berkaitan dengan keberadaan 12 jenis isoflavon pada biji kedelai, baik dalam bentuk glikosida maupun aglikon. Senyawa isoflavon bermanfaat bagi kesehatan karena memiliki aktivitas antioksidan yang dapat mencegah kanker payudara, kanker kolon, osteoporosis, dan penyakit-penyakit degeneratif seperti penuaan dini, jantung koroner dan hipertensi, serta mengurangi sindrom menopause pada wanita. Kandungan isoflavon pada biji kedelai bervariasi dari 128 hingga 380 mg/100 g, dan yang dominan adalah genistein dan daidzein. Varietas unggul kedelai Devon 1 mengandung total isoflavon 221,97 mg/100 g dan varietas Devon 2 mengandung 30,37 mg/100 g untuk total genistein dan daidzein, sehingga masih terbuka peluang untuk meningkatkan kandungan isoflavon melalui perakitan varietas baru. Selain faktor genetis, kandungan isoflavon kedelai juga dipengaruhi oleh musim tanam, umur panen, pengairan, sinar UV dan kandungan unsur hara tanah, serta proses pengolahan. Perkecambahan dan fermentasi meningkatkan kandungan isoflavon, dan pemanasan dapat mengubah struktur kimia isoflavon. Tingkat konsumsi protein kedelai 25 g/hari atau setara asupan isoflavon 37-62 mg/hari diperkirakan dapat memenuhi 83% dari kebutuhan isoflavon harian yang dianjurkan.
BENTUK DAUN DAN TINGKAT PRODUKTIVITASNYA PADA KACANG TUNGGAK (Vigna unguiculata L.) Muzaiyanah, Siti; Trustinah, Trustinah; Wungkana, Jerry
Jurnal Agrotek Tropika Vol 12, No 2 (2024): JURNAL AGROTEK TROPIKA VOL 12, Mei 2024
Publisher : Departement of Agrotechnology, Agriculture Faculty, Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23960/jat.v12i2.6547

Abstract

Tingkat produktivitas kacang tunggak ditentukan oleh proses fotosintesis pada daun tanaman dan fotosintat yang dihasilkannya. Sebagai organ tanaman yang utama dan merupakan source, daun menjadi bagian yang paling penting dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Kacang tunggak mempunyai macam bentuk daun antara lain: segitiga, trullate sempit, trullate sedang, bulat telur (ovate) dan hastate-lanset Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh bentuk daun terhadap produktivitas kacang tunggak. Percobaan disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok satu faktor dengan bentuk daun sebagai perlakuan dan diulang sebanyak enam kali.  Bentuk daun yang diuji ada empat macam, yaitu: Bentuk ovate/bulat telur, yang diwakili oleh varietas KT 4, bentuk lanset yang diwakili oleh varietas KT 5, bentuk trullate sempit yang diwakili oleh galur KT5/1716 (F1), dan bentuk trullate lebar yang diwakili oleh galur KT4/KT5 (F1). Tipe bentuk daun kacang tunggak mempengaruhi bobot biji per tanaman. Tipe lanset mempunyai bobot paling tinggi diikuti ovate dan trullate. Bentuk daun tipe trullate cenderung  mempunyai bobot biji lebih rendah dibandingkan bentuk daun ovate dan lanset..
Pod Hardness, Porosity, and Seed Viability Levels of Several Peanut Varieties Muzaiyanah, Siti; Trustinah, Trustinah; Sutrisno, Sutrisno
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 30 No. 2 (2025): Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia
Publisher : Institut Pertanian Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18343/jipi.30.2.286

Abstract

The peanut pod shell is composed of cellulose, lignin, and hemicellulose. It has pore channels that can give the seeds direct contact with the environment, resulting in the seeds quickly deteriorating due to temperature fluctuations. This research aims to determine the porosity of the pod shell of several peanut varieties, its relationship with the level of shell hardness, and its effect on seed deterioration that is indicated by seed viability. The research was designed using a randomized block factor design, with the first factor being the type of variety, consisting of Kidang, Hyphoma 3, Landak, Talam 1, Tasia 1, and Takar 1. The second factor was the length of storage, consisting of 1, 2, 3, and 4 months, in quadruplicates, and the hardness of the pods was measured using a digital grain hardness tester meter. Porosity (P) was determined using the volume method. Viability testing includes germination viability (GV), germination rate (GR), and germination rate index (GRI). Pod hardness had a low correlation (r = 0.43) with pod thickness and had no effect on shell porosity level; however, pod porosity level had a strong negative correlation (r = -0.75) with pod shell thickness. Pod shell porosity, GR, and GRI have an influence on seed germination following the regression equation GR = 145-1.85P - 0.41VG+29.93GRI with a coefficient of determination R2 = 0.50, meaning that these variables only have a contribution of 50% and other factors influence the other 50%. The shell thickness affects the level of seed germination. The Tasia and Landak varieties with a shell thickness of >0.75 mm produced lower porosity levels and had the least deterioration seed than the other four varieties. Keywords: germination viability, peanuts, pod hardness, porosity