Papers by Ahmadsyah Mas'ud

Pesantren [traditional Islamic boarding school] is a typical traditional religious education inst... more Pesantren [traditional Islamic boarding school] is a typical traditional religious education institution that has been presence in Indonesia since centuries. In maintaining its cultural-survival, pesantren is facing dramatic challenge due to rapid development of communications and information as brought in by modern technology. The massive influx of messages coming from mass media is really distorting the traditional codes of cultures as maintained in the pesantren education system. This phenomenon has brought about dramatic socio-cultural changes in the pesantren as a social entity. To see how deep is the influence of mass media exposure bringing about social change in pesantren, a study has been carried out. The aim of the study is to know the interplaying relationship between personal characteristics of the pesantren community members with mass media exposure and socio-cultural changes. The study revealed that personal characteristics and social economic background of students of pesantren have generally a very strong and significant correlation to the mass media exposure. The study concludes that significant influence of mass media exposure on the students has resulted in significant socio-cultural changes in the pesantren.

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap dan perilaku siswa berbasis pondok pesan... more ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap dan perilaku siswa berbasis pondok pesantren SMAS Hidayatul Muhsinin Kabupaten Kubu Raya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif .Teknik pengumpulan data diantaranya teknik komunikasi langsung, teknik pengamatan langsung dan studi dokumentasi. Dengan alat pengumpulan data adalah panduan wawancara, pedoman observasi dan dokumentasi. Berdasarkan analisa data secara umum sikap dan perilaku siswa di SMAS Hidayatul Muhsinin Kabupaten Kubu Raya sudah mencerminkan siswa yang bersekolah berbasis pondok pesantren. Hal ini terlihat dari observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan berbagai pihak bahwa dapat disimpulkan siswa sudah memahami sikap dan perilaku yang seharusnya dan telah melaksakannya demi perwujudan visi dan misi sekolah. dan membimbing siswa untuk memahami sikap dan perilaku yang sesuai dengan karakter siswa sekolah berbasis pondok pesantren.

s Sociologically, Islamic boarding school (pesantren) is a variant of the sociological institutio... more s Sociologically, Islamic boarding school (pesantren) is a variant of the sociological institution in Muslim society that have two meanings at once, namely the proximity of synonymous with Islamic significance and originality of Indonesia. Pesantren emerges and develops among the Indonesian sociological community experiences loaded with the values of the humanity. As an institution that is identical with the meaning of the Islamic boarding school, was the institution of religion (tafaqquh fiddin) that concern in the field of Islamic knowledge. That is why, the material taught by the pesantren in general is the Islamic sciences, laden with humanitarian values, especially the Islamic jurisprudence (fiqh) and mysticism or Sufism. This second Islamic material was the center of teachings at pesantren, because he was related to the Mission of the prophetic teachings of Islam. For pesantren and the religious leaders (kiai), the teaching of Islamic jurisprudence and sufism or the morality are the instruments of anticipation of the need for change in world view, which allows its use in pesantren. The teaching of Islamic in pesantren focus more on anticipatory memorial, so that a number of the principle is that limber is expected to steer the social dynamics of the santri, especially in answering the problem of humanity in the midst of modernity.

ABSTRAK Kajian inovasi mencadangkan bahawa satu iklim organisasi yang kreatif cenderung untuk mem... more ABSTRAK Kajian inovasi mencadangkan bahawa satu iklim organisasi yang kreatif cenderung untuk memainkan peranan penting dan sebagai satu prediktor inovasi. Walau bagaimanapun, baru-baru ini, kehadiran budaya pembelajaran dalam sesebuah organisasi cenderung untuk menerangkan kesan yang harus dipertimbangkan turut mempengaruhi inovasi dan untuk menentukan yang mana satu boleh menjadi prediktor yang lebih baik untuk inovasi teknologi dan organisasi. Hasil keputusan menunjukkan bahawa kedua-dua budaya pembelajaran dan iklim kreatif secara signifikannya menyumbang 80.4% kepada varians dalam inovasi yang dibentuk dengan iklim kreatif organisasi yang menyumbang 55.6% dan budaya pembelajaran menyumbang 63.7% varians dalam inovasi yang diperhatikan. Hasil kajian juga mendapati bahawa dimensi organisasi pembelajaran menyumbang lebih kepada varians dalam inovasi, khususnya dimensi "Kepimpinan Strategik" mempunyai kuasa prediktor tinggi signifikan ke atas inovasi berlaku di dalam organisasi kes dibandingkan dengan sepuluh faktor iklim kreatif organisasi dan selebihnya enam dimensi organisasi pembelajaran. ABSTRACT Studies on innovation have suggested that a creative organizational climate tends to play an important role and is a predictor for innovation. However, lately, the presence of learning culture in an organization tends to explain a considerable influencing effect on innovation too. This particular case study tries to examine the influence of both variables on innovation and to determine which one of the two can be a better predictor for technological and organizational innovation. The results indicated that both learning culture and creative climate significantly contributed 80.4% to the variance in the innovation construct with organizational creative climate on its own, contributing 55.6% and the learning culture on its own, contributing 63.7% of the observed variances in innovation. The results of the study also found that the learning organization dimensions contributed more to the variances in innovation, particularly the dimension of 'Strategic Leadership' which had a significantly high predictive power on innovation occurring within the case organization as compared to the ten organizational creative climate factors and the rest of the six learning organization dimensions.

Abstraks Artikel ini memfokuskan pada empat pertanyaan tentang motivasi pemilih dalam memilih kan... more Abstraks Artikel ini memfokuskan pada empat pertanyaan tentang motivasi pemilih dalam memilih kandidat kepala daerah pada pemilukada, yaitu keterpilihan kandidat yang diukur dari popularitas figur di hadapan publik, kecenderungan perilaku pemilih, relasi antara kecenderungan perilaku memilih dan popularitas calon dan kecenderungan perilaku tidak memilih. Didasarkan pada riset tahun 2011 dan 2012, studi ini menghasilkan rumusan bahwa pemilih heterogen-urban cenderung rasional dengan memperhatikan kepentingannya terkait tokoh yang akan dipilihnya menjadi kepala daerah. Mayoritas responden (pemilih) lebih mempertimbangkan figur kandidat daripada partai politik pengusungnya dalam pilihannya, disamping kemampuan memimpin, pengalaman jabatan formal pemerintahan, dan beberapa indikator sosial " pro-rakyat " seperti jujur dan dekat dengan rakyat kecil. Studi ini juga mengungkap alasan rasional untuk tidak memilih dalam pemilukada. Rasionalitas pemilih dengan fenomena swing voters, membuka peluang bagi para tokoh untuk berkompetisi pada ajang pemilukada, baik partai politik maupun pemilih yang sama-sama berkepentingan untuk menentukan pilihannya berdasarkan kepentingannya masing-masing. Kata kunci: motivasi, perilaku pemilih, swing voters, pemilukada. Pendahuluan Pada pemilihan umum kepala daerah, motivasi pemilih untuk menjatuhkan pilihannya pada kandidat dipengaruhi oleh persepsi pemilih terhadap figur kandidat tersebut. Persepsi ini terbentuk oleh latar belakang sosial, politik, pendidikan, profesi/ pekerjaan, kondisi sosial dan perekonomian masyarakat, isu-isu lokal, keterkaitan ideologi, budaya, dan faktor lainnya. Pada sisi lain, ada pula calon pemilih yang independen dan kritis dengan pertimbangan rasionalnya terhadap figur kandidat. Inilah yang seyogyanya dipahami dan disadari oleh kandidat atau tokoh yang ingin bertarung pada ajang pemilukada. Secara teoretis pun demikian, bahwa tidak ada faktor tunggal yang mendorong tingkat keterpilihan kandidat. Karena itu, artikel ini tersaji untuk menunjukkan pencarian jawaban atas faktor-faktor yang mendorong keterpilihan kandidat kepopuleran figur dan kepercayaan publik terhadap kemampuan figur bakal calon (viabilitas) dalam mengemban tugas-tugas sebagai kepala daerah, sehingga bisa diidentifikasi motivasi sosial, rasional dan ideologis 1 Dosen, Kepala Laboratorium Ilmu Politik dan Rekayasa Kebijakan (LaPoRa), Program Studi Ilmu Politik, FISIP Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145. Email: wkuswandoro@ub.ac.id.

ketika memberikan kata pengantar dalam buku " Islam and Society in Southeast Asia " , mengatakan ... more ketika memberikan kata pengantar dalam buku " Islam and Society in Southeast Asia " , mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir variabel-variabel etnis dan agama telah meciptakan kebingungan yang sedemikian besarnya di kalangan pengamat sosial. Sebagian besar di antaranya banyak yang berharap secara liberal modernisasi dapat mengaburkan perbedaan etnis. Variabel lainnya berupa pendidikan dan komunikasi global akan membuat masyarakat menjadi semakin homogen ternyata tidak kunjung menjadi kenyataan. Demikian pula halnya dengan harapan radikal yang menginginkan perbedaan agama, bahasa, dan kebudayaan akan lenyap seiring dengan munculnya kesadaran kelas ternyata juga tinggal harapan. Ternyata, kenyataan yang terjadi berlawanan dengan apa yang diidam-idamkan oleh sebagian analis sosial tersebut. Gagasan yang menyatakan bahwa kesamaan suku, agama, dan golongan sebenarnya dapat meredam timbulnya konflik hanyalah tinggal fantasi intelektualitas semata. Namun, dalam realitas tidaklah demikian. Krisis dan konflik kebudayaan yang disebabkan oleh interaksi budaya yang tidak harmonis, atau fenomena pemaksaan antara kebudayaan yang satu terhadap lainnya telah mengancam tujuan ideal kebudayaan, yaitu kerukunan dan perdamaian. Ramalan atau lebih tepatnya tesis, yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington tentang terjadinya sebuah benturan peradaban (clash of civilization) yang notabene sarat dengan dimensi etnik dan agama, walaupun mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan, nyatanya wacana itu telah menjadi bahan diskusi hangat hampir di seluruh kalangan hingga kini. Apalagi ketika ternyata di berbagai kawasan terus berlangsung kerusuhan-kerusuhan yang bersifat kekerasan antar-etnis. Dalam uraiannya lebih lanjut, Huntington menambahkan sebuah catatan menarik bahwa selama perang dingin saja terdapat 32 konflik etnis berskala massif dan 57

Pendahuluan Kyai dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan sasaran para politisi dalam memban... more Pendahuluan Kyai dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik. Pada setiap Pemilihan Umum (Pemilu) maka suara kyai dan santri selalu diperebutkan bukan saja oleh partai-partai politik berbasis Islam saja melainkan juga partai-partai politik berbasis nasionalis. Dalam upaya meraup simpati dari kalangan Islam yang menjadi pengikut setia kyai, banyak partai politik yang menempatkan kyai dan tokoh pesatren pada jajaran pengurus partai dengan harapan dapat menjadi vote getter dalam pemilu. Kecenderungan ini di satu sisi memperluas akses politik kalangan Islam. Sedikit banyak hal ini tentu juga memberikan perluasan pengaruh Islam pada berbagai kelompok politik, sebagaimana ditandai dengan munculnya sayap Islam dalam PDIP. Di sisi lain, situasi ini juga melahirkan fragmentasi politik yang unik di kalangan umat Islam sendiri, berupa terulangnya oportunisme politik di kalangan tokoh-tokoh politik Islam sebagaimana pengalaman era 1950-an. Pergulatan politik antar tokoh Islam sendiri memperlihatkan kuatnya oportunisme di kalangan politisi muslim. Perbedaan afiliasi politik menjadikan mereka nyaris tidak pernah satu suara dalam menyikapi berbagai persoalan politik. Lebih Banyak Dimanfaatkan Indonesia merupakan sebuah negara dengan penduduknya yang multikultural dan plural, yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama, ras dan antar golongan. Berdasar atas pluralitas keislaman di Indonesia, maka dapat menjadikan setiap kelompok keagamaan dalam Islam dapat dimanfaatkan sebagai basis pendukung setiap kepentingan politik. Hal ini ditandai dengan pesatnya pertumbuhan partai-partai politik Islam secara kuantitatif untuk memperebutkan pengaruh pada lahan politik yang sama. Keterwakilan umat Islam bukan lagi dalam kapasitas perbedaan platform ideologis atau bermakna pembelaan kepentingan umat Islam. Dalam konteks ini, pragmatisme politik praktis bahkan cenderung menjadi lebih menonjol dibanding usaha pembelaan kepentingan komunitas dan agama. Di kalangan NU, di mana kyai dan tokoh pesantren menjadi pilar kultural utamanya, muncul beberapa partai politik yang masing-masing mengklaim sebagai representasi politik komunitas ini. Masing-masing juga berupaya menempatkan beberapa kyai dan tokoh pesantren sebagai motor penggerak ataupun sekedar legitimasi. Pada masa Orde Baru, posisi kyai dalam kancah politik nasional semakin terpinggirkan, bahkan tidak jarang dicurigai pemerintah, meski demikian, para kiyai tetap eksis dengan perjuangan dan pilihan politiknya. Sebagai contoh, dapat dilihat, pada saat kampanye pemilu 1977, Kyai Bisyri Syamsuri dengan kapasitasnya sebagai kyai NU dan ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP, mengeluarkan " fatwa politik " , 1 Penulis adalah Guru Besar Sosiologi dan Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya. Menyelesaikan S1 dari Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel dan S2/S3 dari Universitas Airlangga.

Abstraksi Kajian budaya dan media dalam ranah efistimologi masih bersifat umum.Ia hidup dalam bel... more Abstraksi Kajian budaya dan media dalam ranah efistimologi masih bersifat umum.Ia hidup dalam belantara diantara ilmu pengetahuan humaniora lainnya.Namun kajian ini berupaya menggabungkan teori-teori budaya dan media secara kritis. Membahas media dalam perspektif budaya, adalah memahami cara-cara produksi budaya dalam pertarungan ideologi. Sebagai kajian lintas disiplin dan bertolak dari perspektif ideologis, maka kajian budaya dan media (cultural studies and media) secara kritis akan mengkaji proses-proses budaya alternatif pada media dalam menghadapi arus budaya. Secara lebih spesifik adalah untuk memahami apa yang menyebabkan budaya alternatif itu tumbuh atau atas ketidak berdayaan dalam menerima arus budaya global, dari kemajuan teknologi informasi. Kata kunci : media, budaya, komodifikasi Pendahuluan Kajian budaya dan media (cultural studies and media) sering disebut sebagai wilayah kajian multi-disiplin. Artinya kajian yang dimaksud lebih mengakar pada lintas disiplin ilmu humaniora. Kajian tersebut merupakan sebuah fenomena pascamodern dalam dunia akademis tentang mengaburnya batas-batas antar-disiplin ilmu.Jika dilihat dari sudut pandang nominalis disiplin'sebenarnya konsep ini hanyalah merupakan istilah untuk melegitimasi metode dan teori-teori dalam kajian yang bersangkutan.Kajian ini lebih melihat berbagai persoalan media dari perspektif budaya. Tetapi yang sering luput dalam perbincangan tentang lintas-disiplin dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora bahwa gagasan lintas-disiplin dalam kajian budaya dan media itu sendiri masih juga melibatkan gagasan tentang perlintasan antara teori dengan tindakan. Inilah persoalan pokok yang di anggap mampu membedakan antara kajian budaya dan media dengan displin lainnya. Relasi kajian budaya dan media dengan kekuasaan dan politik, dengan keinginan akan perubahan lebih banyak merepresentasikan kondisi kelompok-kelompok sosial masyarakat yang terpinggirkan. Terutama kelompok kelas, gender dan ras (tapi juga kelompok usia, kecacatan, kebangsaan, dsb) pada kultur tertentu. Kajian budaya dan media (cultural studies and media) merupakan sebuah bangunan teori yang dihasilkan para pemikir yang

Abstrak : Salah satu upaya preventif untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi masa depan ... more Abstrak : Salah satu upaya preventif untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi masa depan akan pentingnya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemnusiaan dan pluralisme dalam pergaulan didalam masyarakat yang mempunyai latar belakang kultural yang beragam adalah dengan melalui penerapan pendidikan multikultural. Karena strategi dan konsep pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar peserta didik memahami dan ahli dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi, juga bagaiman caranya agar siswa mempunnyai, sekaligus dapat mempraktekan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada disekitar kita. Den g an d iter ap k an n y a k o n sep d an str ateg i p en d id ik an multikultural, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan ketidak adilan yang sebagian besar dilatar belakangi oleh adanya perbedaan kultural seper ti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa, kemampuan, gender, umur dan kelas sosisal-ekonomi dapat diminimalkan.

PENGANTAR: AKHIR Oktober lalu, kaum terpelajar asal Poso dan Morowali yang berdiam di Sulawesi Te... more PENGANTAR: AKHIR Oktober lalu, kaum terpelajar asal Poso dan Morowali yang berdiam di Sulawesi Tengah dan Jawa, khususnya yang menjadi anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), dikejutkan oleh surat pimpinan gereja mereka ke Komisi I DPR-RI. Melalui surat bernomor MS GKST No. 79/X/2003, tertanggal 28 Oktober 2003, Pjs. MS GKST, pimpinan gereja terbesar di Sulawesi Tengah itu mengusulkan penetapan darurat sipil di wilayah Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali. Surat itu ditandatangani oleh Ketua I Majelis Sinode GKST, Pendeta Arnold R. Tobondo dan Sekretaris I Majelis Sinode, Lies Sigilipu-Saino. Sepintas lalu, surat itu menjawab kerinduan masyarakat Poso khususnya, yang pada tanggal 28 Desember lalu genap memperingati lima tahun pecahnya kerusuhan sosial yang telah menelan korban sedikitnya empat ribu nyawa. Apalagi selama tahun 2003 saja, insiden-insiden kekerasan tidak berkurang, bahkan sampai tanggal 27 Desember lalu, menurut catatan Kelompok Kerja Resolusi Konflik Poso (Poka RKP) mencapai 69 insiden, di mana ancaman dan ledakan bom menempati posisi teratas (35 insiden), disusul oleh penembakan dan pembunuhan oleh pelaku-pelaku yang tidak teridentifikasi (Radar Sulteng, 29 Desember 2003). Tapi di fihak lain, surat pimpinan gereja terbesar di Sulawesi Tengah itu segera membawa ingatan kaum terpelajar asal Poso dan Morowali akan keadaan di Maluku, di mana status darurat sipil telah dijadikan justifikasi untuk penambahan penempatan pasukan TNI dan Polri di wilayah seribu pulau itu. Apalagi karena darurat sipil hanyalah selangkah menuju darurat militer, seperti di Aceh, di mana militer praktis berkuasa mutlak, dan kedudukan gubernur berada di bawah kedudukan panglima militer di sana. Praktis hanya itulah beda darurat militer dengan darurat sipil, di mana kedudukan penguasa darurat sipil berada di tangan Gubernur, yang umumnya kini dipegang oleh pejabat sipil. Selain itu, status darurat sipil, kalau itu diberlakukan di daerah Poso dan Morowali, dapat membawa sesat berfikir dalam penanggulangan kerusuhan di sana. Pemberian status darurat sipil seolah-olah merupakan pembenaran bahwa kedua komunitas agama yang terbesar di Poso dan Morowali, yakni Nasrani dan Muslim, tidak lagi dapat memecahkan sengketa di antara warga-warga mereka dan hidup berdampingan secara damai. Padahal, baik akar kerusuhan di Poso dan Morowali, maupun faktor penyebab di balik berlanjutnya gangguan keamanan di kedua daerah itu, lebih banyak berada di luar masyarakat itu sendiri, sebagaimana yang akan diuraikan dalam makalah ini.

Culturally, pesantren was born from Indonesian culture, and historically it did not contain only ... more Culturally, pesantren was born from Indonesian culture, and historically it did not contain only Islamic meaning, but also the meaning of Indonesian originality because pesantren had indeed already existed during the period of Hinduism-Buddhism in Indonesia. In fact, Islam only continues its progress, preserves it and also Islamizes its concept. Pesantren tradition associated with social change experienced by santri and kyai might be seen through two aspects; pesantren tradition as cultural base and pesantren tradition as mediator between santris and kyai's needs. In actual fact, pesantren tradition is a form of social system that grows prosperously in pesantren environment built by the kyai. This developed system is built on a very strong basis through the kinship social genealogy of the kyai, marriage alliance, intellectual genealogy, and santri-kyai relationship aspects that are not only restricted in the pesantren environment but also outside it. On the next level, pesantren is considered an alternative educational institution that is necessary for society and should be considered more in developing Indonesia education system nowadays. The existence of the pesantren with all its elements and its achievements is an undisputable fact in order to foster up the Islamic education system in Indonesia.

The growth of Pesantren as a traditional Islamic boarding school in the urban area has demonstrat... more The growth of Pesantren as a traditional Islamic boarding school in the urban area has demonstrated that there have been changes in the pesantren itself. Some examples of Pesantren existing till now in urban areas are Pesantren for students Al-Hikam Malang, Pesantren for Students An-Nur Surabaya, and Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya. Those three pesantren, at least there are two changes emerging in Pesantren tradition. First, from educational system perspective, not only teaching classical Islamic intellectualism, Pesantren have been also teaching modern sciences to their students which called Santri. Second, from leadership perspective which Pesantren have their unique leader called Kyai, Pesantren recently produce the concept of 'Kyai Nasib' as a specific typology for Islamic leaders who are chosen not because of their relation with the former Kyai nor descendants of Kyai, but because of their piousness, spirituality, managerial knowledge and charisma.
Uploads
Papers by Ahmadsyah Mas'ud